Terbukanya wacana politik bagi rakyat pribumi pada awal penerapan politik etis, direalisasikan dengan keluarnya Desentralisatie Wetoeving atau Undang-undang Desentralisasi (1903). Hal ini memungkinkan terjadinya wewenang secara otonomi yang disertai pembentukan beberapa dewan daerah. Terlebih setelah Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda diakui sebagai Eigen Rechpersoonlijkheid (status badan hukum) pada tahun 1912. Karena memiliki status badan hukum sendiri, otomatis berhak mengatur urusan finansial, pendapatan dan pengeluarannya pada tahun 1913.
Sejak Indonesia berada di tangan Belanda, maka berbagai pendatang dari negeri asing datang ke Indonesia. Kehadiran mereka mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Penjajah Belanda mempunyai tindakan politik untuk melindungi kepentingan ekonominya, jadi motif ekonomi di dalam situasi kolonial menjadi faktor dominan bagi penentuan hubungan sosial.
Pada awal abad XX kita menyaksikan suatu perkembangan penting dalam perjalanan sejarah masyarakat Indonesia, ketika daerah perkotaan menggeser peranan komunitas pedesaan sebagai tempat berlangsungnya perubahan. Jika tuntutan akan lahan dan tenaga kerja dari kaum penjajah telah mengubah peranan masyarakat di abad XX, maka pertumbuhan usaha perdagangan dan industri di abad XX telah merangsang pembangunan di bidang kehidupan sosial di pusat-pusat kegiatan tersebut.
Di kota-kota, terjadi kebangkitan golongan borjuis pribumi. Kelas baru ini terdiri atas pengusaha dan cendekiawan kehidupan kota. Kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut golongan priyayi, tersisih. Hanya di kota-kota yang kuat sifat kejawennya, seperti di Surakarta dan Yogyakarta, kaum bangsawan tua masih menikmati kedudukan tinggi dalam pandangan masyarakat. Tapi hanya mereka yang siap memainkan peranan baru yang didiktekan oleh kelas menengah baru, bertahan dalam kedudukan itu, selebihnya yang tak siap, kehilangan pamor dan hilang dari peredaran. Walhasil, banyak ningrat yang bergabung dengan golongan menengah memprakarsai dan ikut berkecimpung dalam banyak usaha bersama yang tumbuh selama dasawarsa pertama dan kedua abad XX.
Akar kesadaran politik umat Islam pada masa modern di Indonesia dimulai dengan bangkitnya SI (Sarekat Islam) sebelum Perang Dunia II yang merupakan transformasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI). Lahirnya Sarekat Islam bukanlah satu kebetulan dalam sejarah yang tidak dilatar belakangi oleh kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Sarekat Islam dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.
Sarekat Dagang Islam memilih agama sebagai pengikat sosial yang efektif, sehingga berhasil dalam menarik rakyat bawah yakni petani dan buruh pabrik. Rasa keagamaan menguat secara besar-besaran, sentimen nasional dan membina bentuk solidaritas yang efektif dan mencakup aktifitas golongan. Pada waktu Belanda menjajah Indonesia, bangsa Indonesia merasa terombang-ambing hidupnya, keadaan ini berlangsung selama tiga setengah abad lamanya. Bangsa Indonesia mengalami penderitaan lahir dan batin terus menerus.
Politik pemerintah kolonial Belanda, khususnya bidang sosial budaya, yakni membuat klasifikasi status sosial di masyarakat yang membagi-bagi penduduk Indonesia menjadi beberapa golongan penduduk pribumi. Dari perkembangan kelas yang berlaku ini telah menunjukkan dengan jelas akan rendahnya kedudukan penduduk pribumi yang statusnya di bawah Belanda maupun orang-orang asing timur. Kelas-kelas yang ada di atas Inlanders (pribumi) adalah merupakan kaum bangsawan yang harus dihormati, sedangkan rakyat Inlanders harus tunduk serta membungkuk-bungkuk sebagai realisasi penghormatan terhadap bangsawan tersebut.
Adapun yang berhubungan dengan bidang keagamaan, Belanda berusaha untuk melemahkan kekuatan Islam disatu sisi, sementara disisi lain Belanda menjalankan usaha Zending (kristetnisasi). Usaha-usaha ini adalah merupakan politik pemerintahan Belanda di bidang agama, karena Islam dipandang oleh Belanda sebagai suatu kekuatan dan momok bagi kelanggengan kekuasaan kolonialisme mereka di Indonesia.
Melalui penyebaran pendidikan dan media massa, maka akibat langsung yang dihasilkan adalah munculnya kesadaran Nasionalisme, yang berdampak pada kesadaran baru sebagai masyarakat yang berada di tingkat nasional. Hal ini akhirnya direspon oleh organisasi Islam yang pertama di Indonesia yaitu Sarekat Islam, sebagai motivasi untuk berkembang dalam kancah nasional untuk mewujudkan kemerdekaan.
Munculnya pergerakan perlawanan pada awal abad XX tidak lain berpangkal pada dibukanya kesempatan Bumiputera dalam memperoleh pendidikan. Elitelit baru yang dilahirkan oleh kebijakan politik etislah yang kemudian memegang peranan penting dalam massa pergerakan. Terbentuknya organisasi pergerakan mulai Boedi Oetomo (BO), kemudian Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan salah satu imbas dari kebijakan tersebut. Jika BO dapat menghasilkan suatu mekanisme koordinasi kekuatan antar primordial, maka dalam perkembangan massa pergerakan kekuatan seperti inilah yang diteruskan menjadi pergerakan bernuansa politik.
Menggunakan ideologi Islam yang dibawanya, Sarekat Dagang Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat pedesaan dan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada perkembangannya, Sarekat Dagang Islam sebagai organisasi yang memilih basis massa mayoritas dari masyarakat mampu mengangkat masalahmasalah tentang kegelisahan masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Orang pribumi menganggap Sarekat Islam sebagai alat bela diri terhadap kekuasaan kolonial yang terlihat monolitis dan tidak sanggup mereka hadapi sendiri.
Oleh karena itulah Sarekat Dagang Islam dalam perkembangannya nampak sebagai lambang solidaritas kelompok yang dipersatukan dan didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang Cina, bangsawan, pejabat, mereka yang tidak menjadi anggota Sarekat dagang Islam, dan khususnya pada Belanda. Kondisi politik yang terintervensi keberadaan pemerintah kolonial dengan kegiatan ekploitasinya juga menjadi latar belakang terjadinya sentimen masyarakat kepada golongan pemerintah kolonial.
Lahirnya Sarekat Dagang Islam berawal dari persaingan dagang antara penduduk pribumi dengan penduduk Cina (Tionghoa) peranakan. Kemajuan yang sangat pesat dapat di capai oleh orang-orang Cina dalam hal perdagangan kain dan sikap superioritas orang-orang Cina terhadap kalangan pribumi, sehubungan dengan revolusi Sun Yat Sen tahun 1911 yang menimbulkan perasaan tinggi hati mereka, dan tak lupa, keahlian mereka dalam memonopoli harga kain batik, semakin menambah kejengkelan para pedagang pribumi, sehingga merasa sangat dirugikan sekali dengan adanya peristiwa tersebut. Keberhasilan kalangan Cina dalam mengusai dunia perdagangan, yang selanjutnya mendapat dukungan dari Belanda dalam melancarkan usaha-usaha mereka sehingga mereka dapat mendirikan perkumpulan Tionghoa Hwee Koan pada tahun 1900 di Jakarta yang bergerak dibidang pendidikan serta membentuk kamar-kamar dagang dikota-kota besar di Indonesia. Aktifitas mereka menjadi semakin meningkat setelah adanya gerakan pembebasan yang terjadi di Cina pada tahun 1901.3 Keberhasilan tersebut telah menjadikan sikap angkuh penduduk Cina dengan memandang rendah terhadap kedudukan rakyat Indonesia. Kenyataan ini kemudian mendorong didirikannya Sarekat Dagang Islam.
Sarekat Dagang Islam adalah organisasi yang didirikan di Solo oleh seorang saudagar batik dari desa Laweyan, kabupaten Solo yang bernama H. Samanhudi, pada tahun 1911 dengan nama awal Sarekat Dagang Islam. Laweyan adalah salah satu pusat terpenting kerajinan batik Indonesia, suatu industri yang dalam abad kesembilan belas berhasil menyaingi kerajinan tekstil Eropa. Suatu sebab penting keberhasilan ini adalah ditemukannya metode cap dengan metode ini dapat tercapai banyak sekali peningkatan hasil produksi. Selain itu, berdasarkan selera, rakyat Indonesia tetap lebih menyukai batik pribumi daripada hasil-hasil tiruan Eropa. Menggunakan metode cap terjadi pula perubahan dalam sifat perusahaan batik. Sebelumnya, usaha ini merupakan kerajinan rumah dengan para usahawan yang memberikan bahan baku kepada produsen yang bekerja di rumah dan menerima hasil akhir dengan pembayaran upah untuk setiap potong batik. Sesudah dipergunakan cara baru, orang beralih kepada pemusatan proses produksi di tempat-tempat kerja dekaat rumah si pengusaha, sedangkan tenaga-tenaga pekerja wanita digantikan oleh laki-laki. Hanyalah jenis batik yang mahal-mahal tetap dilukis denga tangan dan pekerjaan ini tetap dilakukan oleh pekerja-pekerja wanita.
Sarekat Dagang Islam merupakan gagasan dari R.M. Tirtoadisoerjo, pelopor lahirnya perkumpulan pedagang Sarekat Dagang Islamiyah yang berdiri sekitar tahun 1909 di Bogor dengan cara ini telah diusahakannya mempraktekkan pendapatnya bahwa rakyat Indonesia pun harus beremansipasi dalam segi ekonomi. Sebenarnya mengenai kapan berdirinya Sarekat Dagang Islam ini masih terjadi interpretasi yang berbeda-beda.
Pada mulanya dalam tahun 1909 atas usaha R.M Tirtoadisoejo, di Bogor didirikan sebuah perkumpulan bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Ketika pembentukan Sarekat Dagang Islam, Raden Mas Tirtoadisoerjo memainkan peranan penting. Tirtoadisoerjo adalah pemimpin redaksi harian Medan Prijaji yang berbahasa melayu, sebuah harian yang agak kritis sikapnya tehadap pemerintah Hindia-Belanda. Di samping itu, ia aktif pula sebagai pengusaha.
Dapat dimungkin dalam salah satu upayanya menjual saham-saham usaha barunya kepada para pengusaha Indonesia yang mampu, Tirtoadisoerjo pun berkenalan dengan H. Samanhoedi. H. Samanhoedi memintanya agar menjadi pemimpin redaksi harian Sarotomo yang segera akan diterbitkan oleh perkumpulan baru itu di Semarang. Tirtoadisoerjo menyetujui hal ini. Barangkali sempat pula ia memberi nasihat-nasihat cara menangani perkumpulan Samanhoedi yang baru, mungkin dengan menggunakan cara ini ia mengharapkan dapat memeroleh modal baru untuk usahanya sendiri di Bogor, yang pada awal 1912 berada dalam keadaan pailit. Nama Sarekat Dagang Islam mungkin sekali diambil oleh Samanhoedi dari nama usaha dagang Tirtoadisoerjo. Kerja sama antara Samannhoedi dan Tirtoadisoerjo hanya berlaku singkat. Baru dalam nomor keempat Sarotomo, diumumkan bahwa Tirtoadisoerjo berhalangan bertindak sebagai pemimpin redaksi, tidak diberikan alasan khusus untuk ini. Menurut beberapa orang, berakhirnya kerjasama dengan Tirtoadisoerjo adalah karena Tirtooadisoerjo menipu pengurus Sarekat Dagang Islam. Uang yang diperuntukkan bagi Sarotomo konon telah dipakainya sendiri untuk menyelamatkan Medan Prijaji.
Kepemimpinan H. Samanhudi mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah terjadi perselisihan antara pedagang batik dari golongan Islam dengan pedagang batik Tionghoa, maka pemerintah Belanda ikut campur dan membatasi ruang gerak Sarekat Dagang Islam. Oleh karena itu, kegiatan Sarekat Dagang Islam selanjutnya, baik yang ada di Solo maupun di daerah-daerah lain terus diawasi oleh pemerintah.
Disamping fakta yang datangnya dari pemerintah Hindia Belanda sendiri, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yakni faktor persaingan dagang dari kalangan Cina, karena pada kenyataannya bangsa Cina mendapat dukungan dari pemerintah Belanda dalam melancarkan usahanya, sehingga mereka mampu mendirikan suatu perkumpulan dengan nama Tionghoa Hwan Kuan, tepatnya pada tahun 1900 di Jakarta. Organisasi ini bergerak dibidang perdagangan dengan membentuk kamar-kamar dagang dikota-kota besar yang ada di Indonesia, setelah didirikannya organisasi tersebut, maka di negeri Cina sendiri berdiri sebuah gerakan ekonomi tepatnya pada tahun 1901. Dari munculnya gerakan diatas baik diwilayah Indonesia maupun di Cina sendiri, golongan Cina semakin congkak karena organisasi tersebut mendapat kebebasan dari pemerintah Belanda di Indonesia.
Adapun Sarekat Dagang Islam didirikan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengutamakan sosial ekonomi.
2. Mempersatukan pedagang-pedagang batik.
3. Mempertinggi derajat bumiputera.
4. Memajukan sekolah-sekolah Islam.
Adapun yang menjadi dasar dalam perkumpulan Sarekat Dagang Islam adalah sebagai berikut:
1. Dasar agama, yaitu agama Islam.
2. Dasar ekonomi.
Sebab musabab yang sebenarnya mengenai berdirinya Sarekat Dagang Islam mungkin selalu akan tetap sedikit misterius. Inti persoalannya terletak dalam hubungan antara orang Jawa dan Cina. De Kat Angelino menulis, hampir dua dasawarsa sesudah berdirinya Sarekat Dagang Islam, bahwa bertentangan kontras dengan daerah lain di Jawa Tengah, hubungan antara majikan Cina dan pekerja Jawa dalam perusahaan batik di Surakarta (dan Yogyakarta) pada umumnya baik sekali. Orang Cina di Vorstenlanden terkenal sebagai “alus” (halus). Mereka tak pelak lagi menerima banyak unsur Jawa, barangkali disebabkan oleh banyaknya darah Jawa yang mengalir dalam tubuh mereka.
Walaupun asal mula pendirian Sarekat Dagang Islam masih agak kurang jelas, alasan-alasan utama rupanya ekonomis dan etnosentris, dan faktor terakhir inilah yang jauh lebih penting. Beberapa pakar berpendapat bahwa gerakan ini berpangkal pada saingan berat antara majikan Indonesia dan Cina di bidang perusahaan batik. J.S Furnivall, umpamanya, menulis bahwa pada tahun 1892 penggantian kain pribumi dengan bahan impor yang dibeli oleh pengrajin batik melalui perantara Tionghoa, mengakibatkan pemegang kekuasaan dalam perdagangan ini beralih ke tangan Cina. Akhirnya, pada tahun 1911, untuk melawan praktek curang dari pengusaha Cina maka pedagang batik Jawa di Surakarta membentuk Sarekat Dagang Islam (1939:213-4, 243-4). Robert Van Niel pun memberi tekanan kepada faktor ekonomi, tetapi ia juga mencatat pentingnya faktor-faktor lain. Ia menulis sebagai berikut:
“Industri batik pada waktu ini (kira-kira 1910) merupakan perusahaan rumah tangga dan sanggar kecil-kecilan. Pedagang besar dan perantara (orang arab, Sumatra, dan beberapa orang Jawa) menyalurkan kain, bahan celupan warna, dan lilinnya, dan pada waktu tertentu mengumpulkan dan memasarkan hasil yang sudah selesai. Kain katun yang halus yang dikenal sebagai kain batik yang dipakai yang dipakai sebagai dasar untuk seluruh proses membatik disediakan oleh pabrik Eropa yang telah menggeser tenunan pribumi pada abad yang lampau. Kain batik ini tiba ketangan pedagang kecil melalui perantara Cina. Pada awal abad XX bahan celupan kimia mulai menggantikan nila dan bahan celupan asli lainnnya. Sekarang celupan ini pun menjadi bahan impor dan ditangani oleh orang Cina. Dirasakan bahwa orang Tionghoa makin lama makin kuat menguasai Industri batik yang memberi kepadanya kesempatan besar untuk menarik keuntungan karena dapat mengendalikan barang impor yang sangat diperlukan.”
Sementara itu orang Indonesia yang kesadaran dirinya mulai terangsang karena sering berhubungan dengan Barat, mulai menentang hak-hak tradisional istimewa dari bangsawan lokal di Vorstenlanden terhadap manusia dan barang-barangnya. Berdasarkan sebab-sebab ekonomis dan sosial maka pedagang Arab-Indonesia di Surakarta memutuskan untuk berorganisasi. Haji Samanhoedi memprakarsainya dengan membentuk suatu organisasi yang pada dasarnya bersifat amal dan protektif. Pada tahun 1911 R.M Tirtoadisoerjo diminta oleh Haji Samanhoedi untuk datang ke Surakarta (Solo) untuk membentuk sebuah organisasi perdagangan Indonesia di kalangan pedagang batik disana.
Korver dengan pedas mengkritik Furnivall dan Van Niel. Pertama-tama katanya, pernyataan bahwa orang cina telah menggeser pengusaha Jawa dari industri batik pada awal abad xx adalah salah dalam hal Surakarta. P. de Kat Angelino dalam laporan yang tersohor tentang batik memberi angka-angka berikut mengenai Surakarta pada tahun 1930:236 pengusaha pribumi (Indonesia), 88 Arab, 60 Cina, dan 3 bangsa Eropa. Akan tetapi R.M.P. Soerachman dalam laporan resmi yang lain mengenai industri batik, mencatat bahwa sebagian besar dari perdagangan batik berskala besar di Surakarta berada di tangan Cina dan Arab, sedangkan dalam perdagangan “lokal” ada sejumlah pedagang penting orang Jawa.
Alasan kedua dari kritik Korver adalah bahwa jauh sebelum 1890 orang Cina telah mendominasi perdagangan dalam bahan mentah untuk membatik. Oleh sebab itu perubahan dari bahan celupan alamiah ke bahan kimia yang mulai pada awal abad xx tidak menghasilkan perubahan dalam kedudukan orang Cina. Dilain pihak pengusaha batik yang berskala besar yang rupanya juga terdiri dari Samanhoedi, bisa menghindari perdagangan perantara Cina dengan cara menghubungi langsung perusahaan impor Eropa di Surabaya dan Semarang. Tetapi hanya sedikit pedagang yang melakukannya karena pada umumnya mereka bisa membelinya dari orang Cina dengan harga yang layak.
Alasan ketiga, yang barangkali paling penting, yang dikemukakan oleh Korver adalah bahwa, menurut penyelidikan Soerachman yang dilakukan dalam tahun 1920-an, pada umumnya terdapat hubungan baik antara leveransir Cina dengan pengusaha Indonesia. Dan dalam laporan De Kat Angelino tak pernah disebut adanya persaingan keras antara pengusaha batik Jawa den Cina di Surakarta seperti yang telah berakulturasi dengan orang Jawa dalam tingkat akulturasi.
Akhirnya, kata Korver, tujuan dan kegiatan Sarekat Dagang Islam pada masa awalnya berbeda-beda dan tidak secara eksklusif atau terutama bertujuan ekonomis. Karena alasan-alasan yang disebut diatas ia berkesimpulan bahwa sangatlah sukar untuk mempertahankan pendapat bahwa Sarekat Islam bermula dari suatu reaksi terhadap dominasi Cina dalm Industri batik. Ia lalu menawarkakan suatu penjelasan tentang alasan yang mungkin bisa menyebabkan konflik dan kegelisahan di Surakarta, suatu penjelasan yang pernah dikemukakan pada tahun 1912 oleh D.A Rinkes, Asisten Penasihat Urusan Bumiputra.
Pada bulan Februari 1912, terjadi kerusuhan oleh orang Cina di Batavia dan Surabaya. Di Surabaya hal ini mengakibatkan bahwa sebagian besar perusahaan Cina ditutup sehingga kehidupan ekonomi di kota ini sesungguhnya terhenti sama sekali. Di surakarta telah ada “persaingan dagang tertentu” antara beberapa pedagang Jawa di Laweyan dan firma Cina milik Sie Dhian Ho yang berniaga dalam buku-buku dan keperluan kantor, menerbitkan surat kabar Taman Pewarta dalam bahasa Jawa-Melayu, dan juga bergerak secara luas dalam perdagangan batik. Sesudah peristiwa di Surabaya maka persaingan komersial di Surakarta memuncak dalam bentuk “yang bersifat akut (gawat)” dan berakibat dalam suatu boikot terhadap Sie Dhian Ho oleh pedagang Jawa. Boikot inilah yang akhirnya menjurus kepada pembentukan Sarekat Dagang Islam. Namun, laporan Rinkes agak samar-samar, dan hubungan (jika ada) antara peristiwa di Surabaya dan Surakarta tidak pernah diuraikan dengan jelas. Korver mengemukakan spekulasi mengenai apa yang bisa menyebabkan hubungan itu dan ia mendapat kesan bahwa konflik antara Cina dan Jawa di Surakarta pada hakekatnya bukanlah ekonomis melainkan sosial dan politis.
Periode pertama dari Sarekat Islam ditandai oleh perhatian terhadap masalah-masalah organisasi, termasuk didalamnya usaha mencari pimpinan, penyusunan anggaran dasar dan hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah. Penyelesaian yang cukup berhasil dalam ketiga masalah ini menyebabkan Sarekat Islam dapat berjalan dengan lancar sampai mencapai puncaknya pada periode 1916 sampai 1921. Anggaran dasar yang pertama bertanggal 11 November 1911 dirumuskan oleh seorang yang bernama Raden Mas Tirtoadisurjo yang pada masa itu termasuk salah seorang dari sejumlah orang-orang Indonesia yang mendapatkan pendidikan secara lumayan. Menurut pemikirannya organisasi baru ini didirikan dengan alasan sebagai berikut: “Tiap-tiap orang mengetahui bahwa masa yang sekarang ini dianggapnya zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu hanya dengan suara saja. Bagi kita umat muslimin adalah wajib mencapai kemajuan itu, dan oleh karenanya, telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam.”
Pada awal tahun 1913, di seluruh pulau Jawa didesas-desuskan bahwa seorang putra Nabi Muhammad S.A.W telah turun dari langit dan ditakdirkan akan membebaskan orang-orang Jawa dari belenggu penjajahan. Pamflet-pamflet diedarkan yang tentang akan segera tibanya Sang Mahdi. Kegiatan-kegiatan keagamaan meningkat dan pada bulan Juni 1913 Pewarta Surabaya menamakan kerusuhan-kerusuhan yang meluas adalah suatu isyarat kepada massa rakyat bahwa ramalan Jayabaya sekarang akan menjadi kenyataan.
Perhatian mulai ditujukan kepada pemimpin-pemimpin Sarekat Islam. Orang pertama yang membangkitkan khayalan massa rakyat adalah Tjokroaminoto, yang semakin menonjol. “Mungkinkah ia Prabu Heru Tjokro, Ratu Adil Tradisional, yang sudah lama dinanti-nantikan itu? Ia datang dan diterima atas nama Tjokro. Didalam suatu dunia yang sudah diresapihubungan-hubungan dan kepercayaan-kepercayaan mistik, persamaan nama itu bukan suatu kebetulan.” Menurut ramalan, kedatangan Messias akan dipermaklumkan oleh bencana-bencana alam. Apakah bukan suatu isyarat bahwa tahun 1882, tahun kelahiran Tjokroaminoto, menyaksikan letusan Krakatau, peristiwa terbesar dalam jenis itu dalam sejarah Jawa? Dimanapun Tjokroaminoto tampil di muka umum,kerumunan massa berebutan untuk menyentuh pakaiannya, mereka terpesona oleh caranya ia mengecam status quo.
Memanfaatkan spekulasi-spekulasi yang meluas, para propagandis Sarekat Islam menjanjikan kepada rakyat, sebagai ganjaran atas tindakan mereka bergabung dengan gerakan itu, antara lain, rumah-rumah tembok, kemakmuran dan kebebasan dari pajak dan kerja rodi. Itu semua bukan merupakan bukti dari suatu “angan-angan kekanak-kanakan”, seperti dikatakan oleh Alkema – melainkan dari suatu pengetahuan yang seksama mengenai janji-janji dalam tradisi Ratu Adil. Bahkan penerimaan anggota-anggota baru oleh pelbagai cabang Sarekat Islam dilakukan menurut rumus-rumus tradisional unutk menyambut Ratu Adil. Pada kesempatan itu dilakukan upacara-upacara rahasia, seperti pengambilan sumpah, minum air suci, dan pembagian kartu-kartu anggota berwarna, untuk menghilangkan setiap keragu-raguan bahwa zaman baru sudah dimulai dan massa rakyat berebutan untuk membeli kartu-kartu anggota itu, untuk bisa memastikan bahwa mereka mendapat tempat didalamnya.
Perkembangan berikutnya Sarekat Islam yang memiliki dasar Islam dan ekonomi ini mengembangkan organisasinya dengan berusaha mencari bantuan kepada seorang yang bernama H.O.S Tjokroaminoto, untuk bekerjasama pada tahun 1912. Selanjutnya Sarekat Islam Semarang berdiri pada awal tahun 1913. Selang beberapa bulan setelah berdiri Sarekat Islam Semarang, pada tanggal 24 Maret 1913 terjadi perkelahian di kampung Brondongan. Aspek yang menjadi pemicu adalah kebencian seorang pedagang tahu dan nasi bernama Liem Mo Sing terhadap orang-orang Sarekat Islam. Semula warung Liem Mo Sing tergolong laku, hampir sebagian besar buruh yang bekerja di perusahaan dekat warungnya menjadi pelanggan Liem Mo Sing. Setelah di kampung tersebut berdiri Sarekat Islam dan buruh perusahaan tersebut menjadi anggota, maka berdirilah toko dan koperasi. Liem Mo Sing merasa mempunyai saingan besar, sehingga ia menjadi benci kepada Sarekat Islam dan berusaha mengganggu orang-orang yang sedang sholat dan memaki-maki orang-orang Sarekat Islam.
Akibat terjadi insiden di kampung Brondongan itu, posisi ketua yang dulunya dipegang oleh Raden Moh. Joesoep diambil alih oleh Raden Soedjono (seorang mantri Kabupaten) atas permintaan anggota Sarekat Islam Semarang. Pergantian pengurus baru tersebut terjadi pada tanggal 13 April 1913 di kampung Pendrikan di rumah Moh. Joesoep dengan susunan pengurus sebagai berikut: presiden dijabat oleh Mas Soedjono, wakil presiden oleh R. Moh. Joesoep, Sekretaris I dan II oleh Mas Poespo Hadikoesoemo dan R. Soemodirdjo. Bendahara I dan II adalah Mas Artosoedarmo dan Hadji Achwan. Komisaris oleh R.Prawito Koesoemo, R. Soepardi, R. Soefaham, R. Tjokrokoesoemo, R. Prawirosatro, Soerodibroto, Mas Resoatmodjo, Mas Darmawinata, Mas Kartowijoyo, Hadji Ridwan, Hadji Abdullah, Sajid Hoesin bin Hasan Moessawa, Hadji Oemar, Hadji Saleh.
Akhirnya dapat pula dikemukakan tujuan dan kegiatan Sarekat Islam di Semarang pada masa mula berdirinya. Tujuannya banyak ragamnya dan tidak semata-mata ataupun terutama ekonomis. Sejauh sifat ini memang diperlihatkannya, kegiatan Sarekat Islam pada pokoknya tertuju pada pembentukan toko-toko koperasi dan tidaklah khusus sarana untuk melawan para pedagang Cina. Paling-paling para pemilik toko Cina yang terkena karena tindakan ini. Jadi sulit untuk terus mempertahankan pendapat bahwa terbentuknya Sarekat Islam merupakan reaksi atas penguasaan orang Cina dalam sektor batik. Namun, mungkin ada keterangan lain.
Secara ringkas dapat kita kemukakan bahwa dasar pandangan ekonomi tentang berdirinya Sarekat Islam di Surakarta tidak dapat dipertahankan. Keterangan masa kemudian tentang hubungan pedagang Cina dan pengusaha batik di Surakarta justru menunjukkan adanya hubungan ekonomi yang wajar daripada persaingan mati-matian antara kedua belah pihak. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa sekitar 1912 keadaannya lain, selain itu, Sarekat Islam pertama-tama tidaklah didirikan sebagai organisasi yang bertujuan untuk menghalau pengusaha Cina dari sektor batik.
Sarekat Islam sangat aktif dan menunjukkan sifat yang luar biasa dinamis, kegiatan Sarekat Islam yang praktis dapat dibagi dalam kategori berikut. Pertama, kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan para anggota, seperti dibentuknya toko-toko koperasi dan usaha-usaha lain, mendirikan sekolah-sekolah, dan sebagainya. Kedua, meniadakan keluhan dan memperjuangkan perubahan dalam bidang pemerintahan, peradilan, pendidikan umum, dan politik keagamaan pemerintah. Ketiga, meniadakan keluh kesah dalam bidang keuangan, dan ekonomi.
Kegiatan yang terarah guna meningkatkan para anggota dapat pula dibagi menjadi empat jenis. Pertama, meningkatkan semangat dagang dan kepentingan materiil rakyat Indonesia dalam lapangan dagang, kerajinan, dan pertanian, pertama-tama pencapaiannya diusahakan dengan mendirikan koperasi konsumen. Inilah kegiatan Sarekat Islam yang paling menonjol dalam periode awal berdirinya. Kedua, memberikan bantuan kepada para anggota yang berada dalam kesulitan. Salah satunya adalah suatu bentuk saling bantu yang berbeda sekali yang ditimbulkan oleh perkumpulan Sarekat Islam adalah diberikannya perlindungan terhadap penggedoran, perampokan dan bentuk-bentuk kriminalitas yang demikian. Dengan demikian, dalam hal ini Sarekat Islam juga berperan sebagai pelindung anggotanya. Ketiga, meningkatkan pendidikan untuk meningkatkan derajat rakyat Indonesia. Keempat, meningkatkan kehidupan beragama di kalangan anggota.
Pada saat itu, gerakan emansipasi telah menyebar diluar Surakarta. Pada bulan Mei, empat wakil pengurus Sarekat Islam Solo berangkat ke Surabaya untuk mengadakan propaganda bagi perkumpulan yang baru ini. Salah seorang yang mula-mula sekali meraka hubungi adalah Hasan Ali Soerati, seorang keturunan keluarga saudagar Islam kaya yang berasal dari India. Soerati adalah seorang ketua perkumpulan Taman Maninkem. Pada pertemuan itu anggota-anggota dari Sarekat Islam menguraikan tujuan perkumpulan mereka. Pada kesempatan ini, orang-orang Solo juga berkenalan dengan Tjokroaminoto yang hadir sebagai ketua perkumpulan panti Harsoyo. Sehari kemudian dilantiklah Soerati dan Tjokroaminoto sebagai anggota baru Sarekat Islam. Gerakan ini meluas pula pada tempat-tempat lain di Jawa.
Sampai saat kepengurusan terbentuk, Sarekat Islam belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Baru pada tanggal 25 Juni 1915 pemerintah Hindia-Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg mengakui Sarekat Islam sebagai badan hukum. Sejak Sarekat Islam mendapat pengakuan sebagai badan hukum, para pengurus giat melakukan propaganda antara lain di Jomblang, Lemah Gempal, kampung Melayu, kampung Batik dan Genuk. Dalam propaganda tersebut para pengurus menerangkan bahwa Sarekat Islam bergerak sesuai dengan Anggaran Dasar yang telah disahkan. Walaupun saat itu Sarekat Islam sudah mempunyai sejumlah besar anggota, namun belum menampakkan kegiatan-kegiatan politik yang dianggap berarti oleh pemerintah kolonial.
Pada tahun 1914 dan 1915 sejumlah pegawai pemerintah Belanda mulai menjalankan tekanan-tekanan tidak resmi supaya pribumi yang menjadi pegawai pemerintah tidak masuk Sarekat Islam, R. Soejono dan beberapa orang lagi sepeti dia tetap memegang jabatan di pemerintah dan keluar dari organisasi.
Sarekat Islam merupakan gerakan rakyat yang pertama di Indonesia, yang dalam waktu singkat dapat menarik ribuan anggota yaitu pada tahun 1914 mencapai lebih dari 360.000 anggota. Hal-hal yang menyebabkan organisasi Sarekat Islam sangat populer adalah karena, pertama, tekanan pada prinsip “saling membantu” diantara anggota-anggota yang sedang kesusahan. Misalnya ada anggota Sarekat Islam yang anggota keluarganya meninggal dunia maka diwajibkan anggota-anggota yang lain dari cabang setempat membantu biaya-biaya penguburan, ikut serta dalam slametan dan mengiring usungan jenazah ke tempat penguburan. Kedua, toko-toko kecil, warung-warung, perusahaan-perusahaan dagang dan transpor, usaha jahit- menjahit dan kerajinan batik semua diatur secara koperasi oleh anggota-anggota Sarekat Islam dalam menghadapi persaingan dengan orang-orang Cina dan Timur Asing (India dan Arab). Ketiga, mendirikan sekolah-sekolah dan rencana-rencana pelajaran dengan dasar agama Islam bagi pendidikan bumi putera. Keempat, menampung keluhan-keluhan dalam bidang sosial dan ekonomi dari penduduk bumi putera terutama di daerah-daerah pedalaman kemudian disampaikan pada pemerintah Hindia Belanda.
Pada periode awal perkembangannya Sarekat Islam merupakan suatu “banjir besar,” dalam arti bahwa massa dapat dimobilisasi serentak secara besar-besaran, baik dari kota besar maupun daerah pedesaan.18 Sejak empat tahun didirikan keanggotaannya telah mencapai hampir dua setengah juta, dan program kebangsaannya yang militan benar-benar dibuktikan untuk memperoleh kemerdekan penuh, kalau perlu dengan kekerasan.19 Para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, tetapi untuk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputra. Sarekat Islam berhasil sampai pada lapisan paling bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita. Itulah karenanya pemerintah kolonial Belanda sangat khawatir kalau-kalau pertumbuhan Sarekat Islam akan berjalan cepat dan menjadi ancaman terhadap eksistensinya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk mematahkan gerakan nasional yang digerakkan oleh umat Islam tersebut.
Setiap orang Islam yang berumur sekurang-kurangnya 18 tahun dapat menjadi anggota Sarekat Islam dengan keharusan mengucapkan sumpah setia kepada Sarekat Islam dan mereka harus mematuhi para pemimpin mereka serta berjanji akan mematuhi ketentuan perkumpulan. Anggota-anggota diharapkan dapat saling membantu dalam keuangan, jika diperlukan. Berbekal semangat untuk menciptakan kesetiakawanan, dengan agama Islam sebagai faktor pemersatu, Sarekat Islam bertujuan mengangkat kehidupan penduduk Jawa untuk mencapai posisi yang lebih baik.
Sarekat Islam mampu menempati tempat yang unik namun kompleks baik di dalam sejarah nasionalisme Indonesia maupun sejarah Islam Indonesia. Secara ideologis, dia mendahului suatu nasionalisme yang programatik sebagaimana kemudian diungkapkan dalam istilah kebangsaan yang merdeka. Secara religius, dia juga mendahului program pembaharuan Islam sebagaimana secara khusus diungkapkan dalam nilai-nilai sosial dan politik Islam. Namun protes-protesnya yang kuat dalam status quo kolonial, keluhan-keluhannya yang lantang dibidang ekonomi dan sosial, dan tuntutan-tuntutannya yang tidak sabar lagi bagi otonomi yang lebih besar, menggabungkan aspirasi-aspirasi nasionalis dan Islam, betapapun tidak jelasnya diterangkan, kedalam suatu program politik yang menjadi semakin militan dan khas Indonesia.
Akan tetapi, radikalisme program ini bukanlah petunjuk tentang kandungan ideologisnya yang oleh kebanyakan pengikutnya, terutama sebagian besar orang-orang desa, dianggap terjelma di dalam Sarekat Islam. Para pengikut partai tersebut di desa berhimpun di sekeliling panjinya bukan karena perjuangannnya untuk otonomi atau pembaharuan sosial dan ekonomi, akan tetapi karena dia tampak mengekspresikan kegelisahan dan keinginan berontak kaum tani yang selama ini tertahan melawan perubahan zaman.
Hal itu menunjukkan bahwa Sarekat Islam membawa sebuah perubahan kuantitatif, bukannya kualitatif di dalam hakekat Islam di desa di Jawa. Untuk beberapa tahun, dia merangkaikan insiden-insiden local, karena ketidakpuasan di bawah pimpinan orang-orang Islam kedalam suatu fenomena nasional di bawah pimpinan orang-orang kota. Akan tetapi hal ini dibuatnya tanpa mengarahkan baik kepercayaan abangan atau keyakinan ortodoks yang militan ke jalan-jalan yang positif dan modern. Oleh karena itu, Sarekat Islam lebih banyak mempunyai makna sosial Islam daripada ideologi.
Gerakan sosial yang dilakukan oleh Sarekat Islam didorong oleh keberanian anggotanya karena diikat oleh keyakinan yang begitu mendalam. Keyakinan ini disatukan dengan menggunakan agama Islam sebagai dasarnya. Meski terkadang faktor agama ini hanya digunakan sebagai alat penyatu belaka, tanpa benar-benar bermaksud untuk memajukannya. Selain itu mereka secara berani melakukan perlawanan dalam wujud gerakan sosial, karena dijanjikan oleh harapan-harapan kehidupan yang lebih baik (milenaristis) dan akan segera munculnya seorang Ratu Adil atau Messias (mesianistis). Untuk itu Sarekat Islam Surabaya dengan cara memobilisasikan berbagai aset atau sumber dayanya, rela bergerak bersama untuk mencapai cita-cita yang dijanjikan. Untungnya, masyarakat Surabaya pada awal abad ke-20 mulai tumbuh kesadaran politiknya. Melalui rapat umum dan rapat anggota, serta melalui perkembangan surat kabar, telah membuka pikiran dan perasaan mereka untuk lebih peka dan tanggap terhadap segala kejadian di sekelilingnya.
Pada penghujung 1920-an, Sarekat Islam sebagai katalisator pergerakan nasional sedikit mulai memudar. Sarekat Islam pada saat itu mengalami kegagalan dalam mempertahankan kepeloporannya untuk mencapai kemerdekaan. Bahkan di tahun-tahun berikutnya, idealisme dan aktivisme politiknya dibayang-bayangi kelompok-kelompok politik sosial lain yang tidak secara formal menyatakan Islam sebagai dasar ideologinya.
Merosotnya peran Sareket Islam ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor utamanya adalah ketidakmampuan para pemimpin Sarekat Islam dan aktivisnya mengatasi berbagai perbedaan paham di antara mereka, khususnya yang berkaitan dengan soal arah politik Sarekat Islam, terutama setelah Marxisme dibawa masuk ke ranah organisasi, dari sinilah pertarungan ideologi antara pendukung politik Islam konvensional vis a vis kelompok yang cenderung beraliran ideologi Marxisme dan nasionalis sekuler di mulai. Perpecahan ini pada periode selanjutnya melahirkan kelompok nasionalis-sekuler yang mayoritas lebih muda dan terdidik secara barat.
Mengenai reaksi Kolonial Belanda terhadap Islam, sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya Sarekat Islam. Dimana pemerintah kolonial Belanda menghadapi suatu kenyataan, bahwa banyaknya perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia tidak terlepas dari peranan umat Islam. Seperti perang Paderi di Sumatra Barat oleh Tuanku Imam Bonjol, perang Diponegoro oleh pangeran Dionegoro di Jawa, perang Aceh oleh Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi perlawanan yang menggunakan panji-panji Islam. Karena kurangnya pengetahuan yang tepat tentang Islam, sikap Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia telah dibentuk oleh kombinasi yang kontradiktif antara ketakutan dan pengharapan yang berlebih-lebihan. Disatu pihak Belanda merasa takut akan timbulnya perlawanan orang-orang Islam yang fanatik, sementara dipihak lain sangat mengaharapkan keberhasilan proses kristenisasi. Namun, disini yang cenderung lebih besar adalah rasa takutnya.
Sejak kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, pemerintah kolonial Belanda mulai menanggalkan rasa takutnya yang berlebihan itu. Cristian Snouck Hurgronje mengikis rasa takut tersebut dengan mengemukakan beberapa alasan. Dia menegaskan, bahwa di dalam Islam tidak mengenal lapisan kependetaan seperti dalam agama Kristen. Para Kyai tidak semuanya orang-orang fanatik, pejabat agama hanyalah merupakan bawahan pemerintah pribumi. Para ulama yang independen bukanlah komplotan jahat yang harus ditakuti, karena mereka menginginkan mengabdi kepada Allah dengan damai. Orang naik haji bukan berarti mereka ingin menjadi haji fanatik. Serta orang Islam Indonesia tidak selamanya taat kepada Syari’at Islam, karena hukum Islam itu harus menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan kebiasaan yang sudah mapan.
Pada bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial Belanda pada dasarnya memberikan kebebasan sepanjang tidak mengganggu kekuasaannya. Pemerintah berusaha bersikap netral. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan adat istiadat yang berlaku, bahkan membantu rakyat yang menempuh jalan tersebut, seperti adat istiadat yang berkaitan dengan hukum perkawinan dan hukum waris. Pada bidang politik pemerintah kolonial Belanda harus mencegah serta menindas setiap usaha yang membawa rakyat kepada fanatisme dan waspada kepada Islamisme.
Cara lain yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda adalah menciptakan suatu struktur keagamaan yang bersifat institusional. Maka dicarilah orang-orang bumiputera yang dapat diajak kerja sama untuk dipasang dalam lembaga tersebut. Golongan pejabat inilah yang dijadikan alat pemerintah kolonial Belanda untuk menindas setiap kegiatan keagamaan yang membahayakan kekuasaannya, serta memasukkan ide-ide sekulerisme dalam masyarakat. Bahkan untuk mengawasi kegiatan pemimpin agama, pemerintah kolonial Belanda mencari orang yang keyakinannya tipis terhadap agama untuk didudukkan sebagai Bupati.
Pengurus awal Sarekat Dagang Islam (SDI):
Sarekat Dagang Islam didirikan oleh H. Samanhoedi dengan bantuan R.M Tirtoadisurjo. Adapun susunan kepengurusan awal dari Sarekat Dagang Islam adalah sebagai berikut:
1. Ketua : Haji Samanhoedi
2. Penulis I : Sumowardojo
3. Penulis II : Sukir
4. Pembantu Keuangan : Sukir dan Haji Saleh
5. Pembantu : Martodikoro
6. Pembantu : Hardjosumarto
7. Pembantu : Wirjotirto
8. Pembantu : Suwandi
9. Pembantu : Suropranoto21
2 Komentar untuk "Sejarah berdirinya Sarekat Dagang Islam"
berdirinya Sarekat dagang islam yang benar adalah 6 Oktober 1905, bukan 1911, tidak ungkin sebuah pergerakan atau perkumpulan mengalami kemajuan yang sangat pesat hanya dalam kurun waktu 1 (satu) tahun (1912) dengan keanggotaan lebih dari 5000 (lima ribu) orang saat itu.
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877