KEMAJUAN DINASTI ABBASIYAH DALAM BIDANG SOSIAL BUDAYA
Sebagai
sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari
lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37
orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah
yang benar-benar memiliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya,
seperti bidang-bidang sosial dan budaya.
Kemajuan
dalam bidang sosial budaya diantaranya adalah terjadinya proses
akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang
majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan
peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan
bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang
bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya.
Dalam
kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa
Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur,
baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan lain
sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan
kota-kota, seperti pada istana Qashrul Dzahabi, dan Qashrul Khuldi,
sementara bangunan
kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya.
Kemajuan
juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masa
inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu
Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan
lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga
kini, seperti kitab Kalilah
wa Dimna dan
lain sebagainya. Sementara tokoh terkenal dalam bidang musik yang
kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil
bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain
bidang-bidang
tersebut diatas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada
masa-masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, telah banyak
diusahakan oleh para khalifah untuk mengembangakan dan memajukan
pendidikan. Karna itu mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
KEMAJUAN DALAM BIDANG POLITIK DAN MILITER
Di
antara perbedaan karakteristik yang sangat mancolok antara
pemerintahan Dinasti Umayyah dengan Dinasti Abbasiyah, terletak pada
orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintahan Dinasti Umayyah
orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan
wilayah kekuasaan. Sementara pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah,
lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa
keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan
wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan.
Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem
politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran. Agar semua kebijakan
militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah
Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang
disebut Diwanul Jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang
berkaitan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan
lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan
dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari
pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
KEMAJUAN DALAM BIDANG ILMU PENGETAHUAN
Keberahasilan
umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara
menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di
antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap
masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan
budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka
diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk
terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan
rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya.
Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa
harum dinasti ini.
Dengan
demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam bidang ilmu
pengetahaun, seperti Filsafat, filusuf yang terkenal saat itu antara
lain adalah Al Kindi (185-260 H/ 801-873 M). Abu Nasr al-faraby,
(258-339 H / 870-950 M) dan lain-lain. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu bumi,
astronomi dan sebagainya. Diantara sejarawan muslim yang pertama yang
terkenal yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq (152 H /
768 M).
KEMAJUAN DALAM ILMU AGAMA ISLAM
Masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima
abad (750-1258 M), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama,
tidak lepas dari peran serta para ulama dan pemerintah yang memberi
dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansial,
kepada para ulama. Perhatian yang serius dari pemerintah ini membuat
para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi yang
kuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan
memajukan ilmu pengetahuan dan perdaban Islam. Diantara ilmu
pengetahuan agama Islam yang berkembang dan maju adalah ilmu hadist,
ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf.
Dari
sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja
pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian
struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan
kebangkitan Daulah Abbasiyah merupakan suatu revolusi.
Menurut
Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi
identitas revolusi yaitu :
- Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
- Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
- Terjadinya penyebrangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
- Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada.
Sebelum
daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi
pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain
mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk
menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi SAW yaitu Abbas
Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat
itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota
kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan
pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah
terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang
penduduknya menganut aliran Syi‘ah
pendukung
Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan
dengan golongan
Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang
penduduknya mendukung
Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani,
kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah
terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan
yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah
mendapatkan dukungan.
Di
bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas
dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2)
fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211). Selama
Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat
rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan
mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang
merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya
mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti
oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah
berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung
dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan
cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan
Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh
di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi
berdiri.
SISTEM PEMERINTAHAN, POLITIK DAN BENTUK NEGARA
Pada
zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem
politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah,
kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal
dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu
Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat
dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan
diatas buminya“. Pada zaman Dinasti Abbasiyah, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik
yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain:
- Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
- Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
- Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
- Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
- Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya
periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah
mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini
dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah
tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik
saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya,
dan
mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri
misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; Daulah
Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada
masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan
oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan
mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya
pemberontakan yaitu: pertama, tindakan keras terhadap Bani
Umayah. dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam
menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu
dibantu oleh seorang Wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya
disebut dengan Wizaraat. Sedangkan
wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz
(sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai
pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut
Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin
pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus
lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal
sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180). Selain
itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara
diadakan sebuah dewan yang bernama Diwanul
Kitaabah
(sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang Raisul
Kuttab
(sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir
dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata
usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul
Idary
Al-Markazy. Selain
itu, dalam zaman Daulah
Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul
maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa,
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Dalam
versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa
pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi empat periode :
Periode pertama (750–847 M)
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang
kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode
ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa
pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu
dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya
dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775
M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang
baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota
yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon, tahun 762M. Dengan demikian, pusat pemerintahan
Dinasti Abbasiyah berada ditengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan
konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif
dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi
baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen.
Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri
dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun
berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia
(Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian
digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini
kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir
muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur
Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut
persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke
dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah
Abbasiyah dan Daulah Umayyah
yang
berorientasi ke Arab.
Khalifah
al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara,
dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.
Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa
Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan
lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah
laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah
al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah
yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan
selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan. Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali
berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya - dan berlanjut ke
generasi sesudahnya - merupakan mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa
al Khulafa’ al-Rasyidin. Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) dan
putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan
Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran
paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat
dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53).
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun,
pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah
Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M)
memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi
oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa
al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai
tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah,
Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek
orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina
secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat
kuat.
Dalam
periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari
luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya
dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai
prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila
tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi
dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah
pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para
penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan
mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak
pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu
dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada
tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh
Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali
pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani
Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar,
dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun
setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus
tahun.
Khalifah
Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini
adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya
orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah
Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan
mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada
di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan
Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para
perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah
pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar,
selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya
dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara
Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh
kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat,
mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa
disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun
faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada
periode ini adalah sebagai berikut:
- Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
- Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
- Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada
periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama
karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah
tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani
Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk
wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian
utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad.
Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan
pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa
berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun
demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah
terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah
muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as-Safa. Bidang
ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.
Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah
sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi
beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah,
pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode
ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah.
Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk
melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah
memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang
agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh
orang-orang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya,
ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini.
Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah Al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah Al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Perkembangan
Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Harun ar-Rasyid, kemajuan intelektual pada waktu itu
setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
- Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
- Gerakan Terjemah. Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain; Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusydi.
- Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan, Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra, Ar-Razi.
- Bidang Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.
- Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya.
Dari
hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para
alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan
berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
Ilmu Umum
Ilmu Filsafat
Ibnu
Bajah (wafat tahun 523 H)
Ibnu
Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain:
Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.
Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya:
Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya
Ulumuddin dan lainlain.
Bidang Kedokteran
penterjemah bahasa asing.
Thabib
bin Qurra (836-901 M)
Ar
Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar
dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
Bidang Matematika
Al
Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
Bidang Astronomi
Berkembang
subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang
terkenal dalam perbintangan ini seperti :
Al
Farazi : pencipta Astro lobe
Al
Gattani/Al Betagnius
Abul
wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
Bidang Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni
musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni
bangunan.
Ilmu Naqli
Ilmu
Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu
Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin
Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain.
Ilmu
Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori
(194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273
H),Abu Daud (wafat 275 H), At Tarmidzi, dan lain-lain.
Ilmu
Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam
menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah:
Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan
Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali.
Ilmu
Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah: Al Qusyairy (wafat 465
H). Karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat
632 H). Karangannya: Awariful Ma’arif, Imam Ghazali:
Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
Para
Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka
masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang
mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan
Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).
PERKEMBANGAN PERADABAN DI BIDANG FISIK
Perkembangan
peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena
upaya-upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini
dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:
Kuttab,
yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah. Bangunannya masih kokoh berdiri hingga sekarang.
Majlis
Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir
dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
Madrasah,
Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula
mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini,
dengan nama Madrasah.
Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada
masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti
kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan
berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
KEHIDUPAN PEREKONOMIAN DAULAH BANI ABBASIYAH
Permulaan
masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh
dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada
pengeluaran. Yang menjadi Khalifah adalah Mansyur. Dia
betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi
dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab
dalam menguatkan Islam.
Dan
keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
- Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
- Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
- Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
- Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
- Membangun armada-armada dagang.
- Membangun armada: untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajaklaut.
Usaha-usaha
tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan
perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah
dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal
dagangnya mengarungi tujuh lautan.
Selain
ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan
yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1.
Istana Qarruzzabad di Baghdad
2.
Istana di kota Samarra
3.
Bangunan-bangunan sekolah
4.
Kuttab
5.
Masjid
6.
Majlis Muhadharah
7.
Darul Hikmah
8.
Masjid Raya Kordova (786 M)
9.
Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10.
Istana Al Hamra di Kordova
STRATEGI KEBUDAYAAN DAN RASIONALITAS
Sebagaimana
diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui
sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah
Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran
benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang
leluasa mengeluarkan pendapat.
Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki.
Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki.
Disamping
itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu
Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya,
belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah
Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk
tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187). Dalam negara Islam di masa
Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari
beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula
dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat
unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu
Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan
Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
- Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :
- Pembentukan lembaga wizarah
- Pemindahan ibukota
- Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
- Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
- Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
- Kebudayaan Yunani Sebelum dan sesudah Islam, terkenal lah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang termasyur diantaranya adalah:
- Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
- Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
- Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” (Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
- Kebudayaan Arab
Masuknya
kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua
jalan utama, yaitu :
- Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
- Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.
CATATAN SIMPUL
Daulah
Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah
Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya
adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan
oleh Abdullah as-Safah.
Kekuasaannya
berlangsung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah
terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman
bani Umayyah, antara lain :
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang profesional.
Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat
dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi
lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini
juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini
berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik,
meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa
pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat,
yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu
Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan
juga Syi'ah. Untuk
memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi
saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan
Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk
sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya
di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia
membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu
Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan
menjadi pesaing baginya.
Pada
mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang
baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang
baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan
konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan
membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang
pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang
ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak,
berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga
protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping
membenahi angkatan bersenjata.
Dia
menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa
dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur
setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri
dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan.
Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng
di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada
tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan
senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki
Khazar di Kaukasus, Daylami di laut
Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
Pada
masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah.
Dia berkata:
“Innama anji Sultan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah
kekuasaan Tuhan di bumi-Nya).”
Dengan
demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke
generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al-
Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani
Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar takhta",
seperti al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer
daripada nama yang sebenarnya.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun
oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari
dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya,
yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786
M),
Harun
Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al
Mu'tashim (833-842
M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861
M).
Pada
masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu
dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas
daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan
puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan
tak tertandingi.
Al-Ma'mun,
pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani,
ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa
billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim,
khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada
orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak
seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti
perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam
periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan
kalangan
intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika
Utara,
gerakan Zindiq di Persia,
gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran
keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari
gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan
wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani
Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani
Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana
diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam
terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti
seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri.
Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan
sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari
dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga
ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan
berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab,
di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan
oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi
yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai
bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak,
juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh
dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui
gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam
bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran
pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional
dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat.
Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih
banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan
pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan
metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama
juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi.
Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi
perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam
madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah
pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M)
dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah
kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah
mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini
lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya
dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di
zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu
Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak
menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam
Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn
Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem
madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta
memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta
pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan
memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat
orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar
tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain
yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya
pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan
mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran
sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah,
seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun
ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani
Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan
sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas
periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang
membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam.
Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu
al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221
H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi
yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M)
yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh
oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah
pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas.
Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits
bekerja.
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum,
terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai
astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani,
yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu
Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit
cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di
tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga
seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah
pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi
al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar
dalam sejarah.
Dalam
bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa
dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang
menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat.
Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir
ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan
tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan
suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad
ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal
dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam
ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa
Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh
terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu
Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang
filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku
tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'.
Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,
banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana
terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa
kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini
adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra,
dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak
golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam
dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang
penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada
masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan
seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa.
Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu
geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan
Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh
beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah
kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh
pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik
berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga
Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa
keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani
Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban
Islam juga mengalami masa kemunduran
Faktor
penyebab kemajuan peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah disebabkan
oleh dua Faktor, yaitu :
Faktor Internal umat Islam
- Pemahaman yang utuh terhadap semangat keilmuan yang diisyaratkan oleh al Qur’an (al Qur’an banyak mengandung sinyal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
- Para pembesar kerajaan memiliki perhatian yang tinggi terhadap pentingnya Ilmu Pengetahuan bagi kehidupan manusia. Hal tersebut ditunjukkan pada semangat dan pengkajian keilmuan dan penghargaan pemerintah terhadap pakar-pakar keilmuan.
- Lahirnya berbagai pusat kajian dan analisa keilmuan serta pusat-pusat penterjemahan terhadap buku-buku asing yang dibiayai oleh pemerintah, tanpa melihat bentuk dan perbedaan kajian keilmuan tersebut sehingga umat Islam telah mengalami pendewasaan dan kematangan berfikir
Faktor Eksternal umat Islam
- Tradisi keilmuwan telah berkembang lebih dulu di wilayah Persia, sehingga umat Islam tinggal mengembangkan dan menambah keunggulannya.
- Umat Islam melakukan adaptasi terhadap budaya asing terutama ilmu / Filsafat Yunani, diteruskan dengan proses menterjemahkan buku-buku asing tersebut.
- Terjadinya gerakan translitasi (penterjemahan) oleh umat Islam pada kebudayaan atau hasil karya lain, terutama buku-buku hasil pemikiran filosof Yunani.
- Proses penterjemahan tersebut melahirkan kecenderungan baru dalam tradisi berfikir. Kalau pada masa pemerintahan Bani Umaiyah, pola berfikir umat di dominasi oleh pemikiran keagamaan dan dogmatik, maka pada masa pemerintahan Bani Abasiyah berkembang pemikiran rasional analitis.
- Proses tranformasi keilmuan Islam terhadap keilmuan luar lebih di dorong oleh daya tarik Filsafat, yang menurut umat Islam mempunyai sisi menarik dalam hal :
- Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan ilmu matematika yang mengagumkan Islam.
- Bahwa pada saat itu terjadi pertarungan pemikiran antara umat Islam dengan penganut Islam baru yang masih mengikuti faham / filosofi agama sebelumnya, dan mereka menggunakan logika Filsafat, maka untuk menghadapi pertarungan pemikiran dengan diperlukan pemahaman yang baik mengenai logika tersebut.
- Bercampurnya buku-buku keagamaan Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Yunani yang dianggap oleh umat Islam sebagai karya filsafat Yunani.
- Corak pembahasan keagamaan filsafat Yunani dalam hal menerangkan konsep Tuhan Yang Esa dan mencapai kebahagiaan dilakukan dengan pendekatan dan peleburan diri kepada Tuhan dan pembersihan diri (Zuhud), sebagaimana yang dijelaskan dalam filsafat ketuhanan (Theodocia) mereka.
Sistem
pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan
pendahulunya, bani Umayyah dengan sistem kekuasaan absolutisme.
Mereka mengangkat dan mengumumkan seorang atau dua orang putra
mahkota atau saudaranya sendiri untuk terus mempertahankan
kepemerintahan. Kebijakan menerapakan sistem seperti ini tentu saja
menimbulkan kecemburuan dan kebencian diantara sesama keluarga.
Sebagai contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia mengumumkan Mahdi
sebagai putra mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn Musa, kemenakannya
sebagai putra mahkota kedua. Saat itu juga al-Manshur mengasingkan
Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah pertama al-Shaffah.
Seluruh
anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas
sebagai khalifah mereka yang pertama walaupun masih ada Abu Ja’far
(al-Manshur) yang nantinya akan menjadi khalifah yang kedua.
Kekhalifahan
bani Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang
dan pada periode pertama (750 – 848 M) tercatat kurang lebih 10
khalifah yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :
NO
|
NAMA
|
MASA
BERKUASA
|
1.
|
Saffah
ibn Muhammad
|
(132
H/750 M)
|
2.
|
Abu
Ja’far al-Manshur ibn Muhammad
|
(136
H/754 M)
|
3.
|
Mahdi
ibn al-Manshur
|
(158
H/775 M)
|
4.
|
Hadi
ibn Mahdi
|
(169
H/785M)
|
5.
|
Harun
al-Rasyid ibn Mahdi
|
(170
H/786M)
|
6.
|
Amin
ibn Harun
|
(193
H/804 M)
|
7.
|
Ma’mun
ibn Harun
|
(198
H/813 M)
|
8.
|
Mu’tashim
ibn Harun
|
(218
H/833 M)
|
9.
|
Watsiq
ibn Mu’tashim
|
(227
H/842 M)
|
10.
|
Mutawakkil
ibn Mu’tashim
|
(232
H/848 M)
|
Dalam
perkembangannya, di bawah khalifah Saffah, ibu kota negara berada di
kota Anbar dekat kufah dengan istana yang diberi nama
al-Hasyimiyah. Namun
demi menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu akhirnya pada
tahun 762 M al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke Baghdad dengan
istana al-Hasyimiyah II. Dengan demikian, pusat pemerintahan daulah
Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Diantara
langkah-langkah yang diambil al-Manshur dalam menertibkan
pemerintahannya antara lain :
- Mengangkat pejabat di lembaga ekskutif dan yudikatif.
- Mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen. Dan wazir pertama yang diangkatnya adalah Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia.
- Mengangkat sekretaris negara dan kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata.
- Memaksimalkan peranan kantor pos. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
- Berdamai dengan kaisar Constantine V, dan selama gencatan senjata, Bizantium membayar upeti tahunan.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada
beberapa khalifah sesudahnya. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai
klimaks kesuksesan adalah pada masa pemerintahan khalifah Harun
al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun.
Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik yang ada, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode
dengan karakteristik yang berbeda-beda pula :
- Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
- Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
- Periode ketiga, (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode keempat, (447 H/1055 M – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
- Periode kelima, (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
KEBERHASILAN YANG DICAPAI
Dalam
hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial
a). Bidang Material :
Pada
zaman al-Mahdi, sebenarnya perekonomian sudah mulai menggeliat dengan
peningkatan di sektor pertanian, melaluai irigasi dan peningkatan
hasil pertambangan. Diantara prestasi-prestasi yang berhasil diraih
al-Mahdi antara lain:
- Dia membangun gedung-gedung sepanjang jalan menuju Makkah.
- Masjid Agung di Madinah diperbesar tetapi menghapus nama khalifah bani Umayyah, Walid dari dinding masjid itu dan mengganti dengan namanya.
- Membangun tempat pelayanan pos antara Makkah dan Madinah kemudian Yaman yang berfungsi sebagai tempat pembayaran ongkos perjalanan tiap mil.
- Membuat benteng di beberapa kota khususnya Rusafa di bagian Baghdad Timur
Popularitas
daulah bani Abbasiyah mencapai puncak peradaban dan kemakmurannya di
zaman Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833
M). Kekayaan yang banyak, dimanfaatkan Harun untuk keperluan sosial.
Istana-istana besar, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter dan
farmasi didirikan. Bahkan menurut sebagian ahli sejarah menyatakan
bahwa sebenarnya Harun ingin menggabungkan laut tengah dengan laut
merah. Namun Yahya ibn Khalid (dari keluarga barmak) tidak menyetujui
gagsan itu. Pada
masa al-Ma’mun menjadi khalifah, ia banyak mendirikan
sekolah-sekolah. Salah satu karya terbesarnya adalah pembangunan Bait
al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang sangat besar.
Baghdad,
kota kuno yang didirikan oleh orang-orang Persia, merupakan tempat
perdagangan yang kerap kali dikunjungi oleh pedagang dari India dan
Cina. Para Insinyur, tukang batu, dan para pekerja tangan didatangkan
dari Syiria, Bashra, Kufa untuk membantu didalam memperindah kota.
Bahkan di daerah pinggir kota ini sudah terbagi menjadi empat bagian
pemukiman yang masing-masing mempunyai seorang pemimpin yang
dipercaya untuk mendirikan pasar di pemukimannya. Demikianlah di
zaman Abbasiyah pertama. Baghdad menjadi kota terpenting di dunia
sebagai sentral perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesenian.
Masjid-masjid dan bangunan-bangunan lain semakin bertambah
banyak dan menjadi hal menarik dalam kesenian muslim.
9 Komentar untuk "Dinasti Abbasiyah (Kemajuan dan Keberhasilannya)"
mau tanya, berapa jeda waktu perpindahan dari dinasti Umayyah ke dinasti Abbasiyah?
terima kasih
Jeda waktu hampir tidak ada, karena setelah runtuhnya kedaulatan bani Umayyah, bani Abbasiyah sudah berdiri dan berkuasa di Andalusia
Apa manfaat kemajuan ilmu pengetahuan masa dinasti abbasiyah?
Izin copy ya
makasih infonya..
terima kasih . sangat membantu
bagaimanakah situasi dan kondisi wilayah kekuasaan Islam Bani Abbasiyah Berakhir (PETA)?
Panjang banget blog nya asw, gue mau nulis ningung nih kntl ngentod lah
izin buat konten youtube min