Partai Komunis Indonesia |
Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan dalam
gelombang pertama perjuangan anti Belanda. Pada awal tahun 20-an,
dengan adanya perpecahan dalam kepemimpinan kelas menengah yang ada
waktu itu, PKI muncul sebagai organisasi terkemuka dalam perjuangan
kebangsaan dan kelas.
Namun demikian,
kelemahan pimpinan PKI dan pergeseran mereka ke politik ultra-kiri,
menggiring partai ini menemui kegagalan total pada tahun 1923-26. Hal
ini memungkinkan para pimpinan kelas menengah nasionalis bercokol di
pucuk pimpinan pada perjuangan kemerdekaan di tahun 1940-an.
Sebelum 1914 tidak
ada tanda apapun bahwa dalam beberapa tahun saja di Indonesia akan
ada partai komunis berbasis massa yang pertama di dunia kolonial.
Kelas buruh tidak mempunyai organisasi politik dan hanya ada beberapa
serikat buruh yang semuanya lemah.
Gerakan "Nasionalis"
masih berupa jabang bayi; dan sebetulnya, imbauan nasionalisme belum
terdengar di kalangan rakyat. Aslinya gerakan nasionalis dikuasai
pemimpin kolot dari kelas menengah yang berdasarkan agama. Jurang yang dalam
memisahkan para pemimpin nasionalis ini dengan kondisi sosial yang
begitu buruk di kalangan rakyat. Pada era itu juga belum mulai
berkembang sayap kiri apapun yang secara potensial bersifat
Bolshevik.
Partai Komunis Indonesia
Asal Mula PKI
Partai
Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang
berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926,
mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh
membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965
yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI. Partai ini didirikan atas
inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan
nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau
(Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
SDAP |
Keanggotaan
awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai
sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP
(Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada
Oktober 1914 ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda,
"Het Vrije Woord"
(Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Dan pada 1917 ISDV
mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, yaitu "Soeara
Merdeka".
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia.
ISDV |
Pada
saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya
itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun
demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti
kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas
dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari
ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan
membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Henk Sneevliet |
Di
bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober
seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini
berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut
Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal
Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai
3.000 orang.
Pada
akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya,
sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan
membentuk sebuah dewan Soviet. Para penguasa kolonial menindas
dewan-dewan Soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim
kembali ke- Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan
di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV
terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah
tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain,
Soeara
Ra’jat.
Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah
dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi
ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas
orang Indonesia.
Pada
awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam.
Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para
anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam
melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat
gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal
dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV.
Semaoen |
Pada
Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah
menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaoen diangkat sebagai
ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi
bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini
pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Lalu pada 1924
nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Perjalanan PKI dari awal hingga akhir
A. Pemberontakan 1926
Pada
November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan
kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan
terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan
brutal oleh penguasa kolonial.
Boven Digul |
Ribuan
orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang,
umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp
tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak
aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan
kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis.
Tan Malaka |
Pada
1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu,
PKI kemudian bergerak di bawah tanah. Rencana pemberontakan itu
sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan
rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa
terutama di Sumatra.
Penolakan
tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang
juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu,
beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa
terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Muso |
Pada
masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri,
terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935
pemimpin PKI Muso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet,
untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Muso
hanya tinggal sebentar di Indonesia.
Kini
PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan
serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis,
Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam
kontrol PKI.
B. Peristiwa Madiun 1948
Perundingan Renville |
Pada
8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai
Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap
menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, RI menjadi pihak yang
dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.
Oleh
karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa,
kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa
menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Amir Syarifuddin |
Selanjutnya
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni
1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi
terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan
kekuasaan.
Beberapa
aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan
propaganda anti-pemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi,
pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta
menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan
dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak
lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir
Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil
alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya
meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan
menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Puncak
aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 diMadiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan
negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini
beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat
yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam.
Tindakan
kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh
pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi
pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman
memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan
pemberontakan PKI.
Anggota PKI yang berhasil ditawan TNI |
Pada
30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi.
Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati, sedangkan Amir
Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati.
C. Bangkitnya PKI
Surat Kabar Harian Rakjat |
Setelah
terpuruk akibat peristiwa di Madiun, PKI seakan telah menghilang,
namun pada tahun 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya,
dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat
dan Bintang
Merah.
Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah
pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti
kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno.
D.N Aidit |
Aidit
dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti
Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada
1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih
dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat,
dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954
dan bahkan 1,5 juta pada 1959.
Pada
Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang
diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan
Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah
untuk sementara waktu. Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke
empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39
kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di
Konstituante.
Pada
3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di
bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik
Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan
para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri
sebagai sebuah partai nasional.
Pada
Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno
yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap
kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam
melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak
merata antara pusar dan daerah menjadi pemicu.
Gerakan
yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari
1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi
ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol
mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan
ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada
akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada
1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI.
Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan
Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam
sambutannya.
Pada
1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan
dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI
sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya
dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya
sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Dengan
berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang
pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan
RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi
massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia),
Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI).
Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi
yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari
seluruh rakyat Indonesia.
Pada
Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit
dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962,
PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah
Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang
pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden
Filipina, Diosdado Macapagal.
PKI
menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para
anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan
Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu
bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari
mereka ditangkap begitu tiba.
Salah
satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan
diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani,
kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti
Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat
TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang
dilakukan PKI dengan "tentaranya".
D. GESTAPU/G30S
Alasan
utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada
melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak
melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“. Aktivitas PKI
dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa
G30S, makin agresif.
Meski
pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat
kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“,
terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan
UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan
"Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“, serta
serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang
dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan
mengabaikan "demokrasi“-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa
superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa
secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Anggapan bahwa partai
ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.
Ada
pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh
sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya
Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan Suyatno di komplek
perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim.
Sedang
operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan
SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim
dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan
Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen
Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut
keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI
mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik
yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi
setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena
mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana,
maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah
bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing.
Aidit
dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera
menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan
instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Antara kebenaran dan
manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi
atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran
bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya,
sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang
masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi
kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di
tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina),
Hsinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah
masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian
diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan
kudeta oleh PKI.
Presiden
Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak
terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya
sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi
Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno
tidak akan membubarkan PKI.
Kemudian,
pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi
keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam
jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30
September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima
secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang
pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada
tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira
penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap
kekejaman, melebihi peristiwa itu secara fakta.
Penculikan
dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah
kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam
penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang
mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang
juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di
Indonesia.
Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk
menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30
September 1965 dan PKI– yang dianggap kontroversial atau mengandung
ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik,
bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan,
tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau
terlibat keanggotaan PKI.
Bila
sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam
karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata
pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan
manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam
sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum
sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat
sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain
dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI
pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh
utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian
melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana
enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan
dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Bahwa
ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang
telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan
kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku
politik dalam rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang,
itu adalah soal lain yang memang perlu lebih diperjelas duduk masalah
sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati kebenaran
sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan.
Bahwa
dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik
maupun konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu
Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam
perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI terutama sebagai
korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan
ekses, gejala diperangi dengan gejala.
Gerakan
30 September yang dilancarkan oleh PKI kini disebut dengan peristiwa
G30S/PKI. Dimana peristiwa tersebut telah cukup menggambaran
penculikan dan pembunuhan terencana yang dipublikasikan dilakukan
oleh PKI terhadap sejumlah jenderal TNI AD yang kemudian di buang ke
sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Dan
gagalnya upaya PKI untuk menggulingkan Ideologi Pancasila yang
menjadi dasar negara Indonesia untuk kemudian di ganti dengan
Ideologi Komunis, pada masa pemerintahan presiden Soeharto telah
dikenal dengan peringatan hari kesaktian Pancasila yang selalu
diperingati setiap tanggal 1 Oktober oleh seluruh rakyat indonesia
dengan mengkibaran bendera setengah tiang. Namun hingga kini berbagai
pertanyaan tentang siapa perencana gerakan 30 September masih
berkumandang.
2 Komentar untuk "Partai Komunis Indonesia (awal kemunculan hingga kehancuran)"
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877