Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, pada abad ke-16 para ulama dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Nusantara sangat dipengaruhi oleh ajaran sufi dari Al Hallaj yang lebih dikenal dengan Wahdatul Wujud, dan juga dipengaruhi mistik-keagamaan yang bersifat ilmiah. Sejarah Islam di Nusantara pada abad ke-16 adalah sejarah resistensi dan negosiasi terhadap faham wahdatul wujud. Faham tersebut memang merupakan isu kontroversial dalam sejarah intelektual Islam setidaknya sejak abad ke-13. Faham tersebut dikecam sekaligus dibela dalam serangkaian polemik panjang yang menegangkan namun mengasyikkan juga, dari Andalusia hingga Nusantara.
Dengan demikian, sejarah resistensi dan negosiasi terhadap faham wahdatul wujud di dunia intelektual Nusantara sesungguhnya merupakan kesinambungan dari polemik tentang tema tersebut dalam sejarah intelektual Islam secara umum. Ini sama sekali tidak mengherankan, karena hubungan intelektual dan spiritual dunia Melayu-Nusantara dengan pusat-pusat penting intelektual dan spiritual Islam baik di Afrika, Timur Tengah, Persia, maupun Asia Selatan berlangsung demikian intensif dan ekstensif terutama sejak abad ke-16.
Dengan demikian, sejarah resistensi dan negosiasi terhadap faham wahdatul wujud di dunia intelektual Nusantara sesungguhnya merupakan kesinambungan dari polemik tentang tema tersebut dalam sejarah intelektual Islam secara umum. Ini sama sekali tidak mengherankan, karena hubungan intelektual dan spiritual dunia Melayu-Nusantara dengan pusat-pusat penting intelektual dan spiritual Islam baik di Afrika, Timur Tengah, Persia, maupun Asia Selatan berlangsung demikian intensif dan ekstensif terutama sejak abad ke-16.
Faham wahdatul wujud menekankan kesatuan ontologis antara Tuhan dan alam semesta. Transendensi dan imanensi Tuhan adalah dua sisi dari satu keping mata uang, sehingga Tuhan bersifat transenden (tanzîh) sekaligus imanen (tasybîh). Di antara dalil yang kerapkali diajukan adalah QS 57: 3: “Dialah Awal dan Akhir; Dialah Dzahir dan Batin”. Transendensi Tuhan adalah wujud batin-Nya, sedangkan imanensi Tuhan adalah wujud dzahir-Nya. Dalam konteks itu maka Tuhan hanya bisa dikenali dan difahami lewat proyeksi, realisasi, atau eksternalisasi diri-Nya (tajallî) dalam alam semesta.
Pada saat yang sama, alam semesta hanya harus difahami dalam kesatuan ontologisnya dengan Tuhan, baik sebagai spekulasi filsafat maupun sebagai kesadaran kerohanian (ittihâd) atau peleburan kesadaran eksistensial ke dalam realitas transenden (hulûl) dalam pengalaman dan pencapaian mistik (fana’). Pemisahan ontologis antara keduanya hanya akan mengacaukan hubungan yang bersifat transenden sekaligus imanen antara Tuhan dan alam semesta. Prinsip metafisis ini demikian, dan tentu sangat penting, sebab dengan cara itulah ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad menyangkut hubungan Tuhan dan alam semesta yang berindikasikan kesatuan ontologis dan mistis bisa dipahami dengan baik.
Pada saat yang sama, alam semesta hanya harus difahami dalam kesatuan ontologisnya dengan Tuhan, baik sebagai spekulasi filsafat maupun sebagai kesadaran kerohanian (ittihâd) atau peleburan kesadaran eksistensial ke dalam realitas transenden (hulûl) dalam pengalaman dan pencapaian mistik (fana’). Pemisahan ontologis antara keduanya hanya akan mengacaukan hubungan yang bersifat transenden sekaligus imanen antara Tuhan dan alam semesta. Prinsip metafisis ini demikian, dan tentu sangat penting, sebab dengan cara itulah ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad menyangkut hubungan Tuhan dan alam semesta yang berindikasikan kesatuan ontologis dan mistis bisa dipahami dengan baik.
Sebagaimana di kawasan lain di dunia Islam, resistensi dan negosiasi terhadap faham wahdatul wujud di Nusantara berlangsung sedemikian intensif dan ekstensif pula. Dalam kadar dan corak berbeda-beda, respon dan reaksi terhadap polemik sekitar faham tersebut muncul di banyak wilayah di kawasan Nusantara, mulai dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, sampai Sulawesi. Sejarah resistensi dan negosiasi terhadap faham wahdatul wujud di wilayah Nusantara ini berjalin-berkelindan antara tendensi-tendensi intelektual, spiritual dan peta sosial politik Islam sendiri.
Pada saat itu di Nusantara khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud yang melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin, yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya. Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi qadi Sultan.
Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani adalah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan penulis penganut paham Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja. Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh. Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani adalah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan penulis penganut paham Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja. Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh. Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang sufi dari Aceh. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli mengatakan ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara). Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan).
Dalam zaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa. Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrasyah) di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat kelahirannya ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Dalam zaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa. Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrasyah) di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat kelahirannya ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Jika di Aceh tokoh penganut Wujudiyah adalah Hamzah Fansuri, di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang. Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali tersebut.
Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Al Wujud” yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Al Wujud” yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Manunggaling Kawulo Gusti yang diajarkan Syeikh Siti Jenar adalah sebuah bentuk ketakterhinggaan (~), apabila diibaratkan sebagai teori limit dalam Matematika. Jika dalam ilmu Matematika, siapa saja yang mampu menembus rahasia ketakterhinggaan maka akan bisa menemukan sejumlah kerelatifan nilai. Untuk memahaminya perlu dimengerti bahwa dalam teori limit Matematika 1 : 0 = ~ (tak terhingga). Selanjutnya dalam system pengerjaan sebagai berikut:
Jika X = Y maka X/Z = Y/Z. Dari sistem pengerjaan ini maka dapat dibuat sebuah system operasi Matematika untuk memahami ajaran Syeikh Siti Jenar sebagai berikut,
0 = 0
0 x 7 = 0 x 1000 (sampai disini operasi pengerjaan masih bisa diterima oleh kaum penganut “syariat” matematika). Jika memakai dalil diatas (X=Y maka X/Z=Y/Z) maka akan bisa memasuki suatu system pengerjaan yang bagi kaum “syariat” matematika akan melahirkan kekacauan jagad ssebagaimana kekacauan yang disebabkan Syeikh Siti Jenar : 0 x 7/0 = 0 x 1000/0. Selanjutnya jika ketakterhinggaan ditembus (yang membolehkan pembagian 0 dibagi 0 dengan hokum X dibagi X sama dengan 1) maka akan terungkap rahasia keakuan bahwa seribu pun sama dengan tujuh.
Dengan cara pengerjaan tersebut, maka akan terbongkarlah sesungguhnya rahasia angka-angka. 1,2,3,9,1000,1000000 atau berapapun itu sama saja, tidak ada bedanya. Itu dalam bahasa agamanya: raja, presiden, kere, pengemis, kyai, wali, politisi itu sama saja jika dihadapkan pada mereka-mereka yang mampu menembus rahasia ketakterhinggaan (yang membolehkan pembagisn dengan angka nol: menenggelamkan kebulatan dunia sebagai pusat orientasi), yaitu mereka yang meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia. Pemikiran inilah yang tidak bisa diterima oleh wali songo.
Jadi pada abad ke 16 M di Nusantara berkembang paham yang dapat digolongkan dalam tasawuf falsafi yang bukan hanya di Aceh tapi di bagian wilayah lainnya di Nusantara. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerapkan syari'ah - suatu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkup Islam pada abad itu. Tulisan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin memberi dorongan pada kecenderungan ini, tidak bisa disimpulkan secara blak-blakan bahwa mereka mengindahkan syari'ah. Mereka telah memberikan sumbangan besar pada kehidupan religio-intelektual kaum Muslimin abad ke-16 dan 17 M.
Naskah Keagamaan Karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nurudin al Raniri, Abdul Ra’uf bin Ali al Fansuri
Karya Hamzah Fansuri
Semasa hidupnya Hamzah fansuri telah banyak menulis buku dan naskah keagamaan. Hamzah Fansuri menyusun uraian semacam trilogi tasawuf dalam bahasa Melayu. Ketiga-tiga karangannya masing-masing berbeda dalam cara menyampaikan isinya. Karangan pertama, yang diberi judul Syarab al-‘Asikin, menjadi semacam kitab pedoman yang sistematis dan agak ringkas. Karangan prosa kedua Hamzah Fansuri berjudul Asrar al-Arifin, juga sebuah karangan ikhtiar tasawuf.
Karangan Hamzah Fansuri yang ketiga adalah sebuah kitab yang berjudul Al-Muntahi, yang memberi tafsir atas sebuah hadits terkenal; “Barang siapa mengenal diri sendiri, telah mengenal pula Tuhannya”. Al-Muntari dapat dipahami, sebagaimana mestinya hanya bagi para ahli tasawuf yang sudah maju dalam jalan ma’rifat. Berikut ini adalah karya-karya Hamzah fansuri yang selamat dari pemusnahan pada masa Sultan Iskandar Tani :
Karangan Hamzah Fansuri yang ketiga adalah sebuah kitab yang berjudul Al-Muntahi, yang memberi tafsir atas sebuah hadits terkenal; “Barang siapa mengenal diri sendiri, telah mengenal pula Tuhannya”. Al-Muntari dapat dipahami, sebagaimana mestinya hanya bagi para ahli tasawuf yang sudah maju dalam jalan ma’rifat. Berikut ini adalah karya-karya Hamzah fansuri yang selamat dari pemusnahan pada masa Sultan Iskandar Tani :
- Asrar al-Arifin (Rahsia Orang yang Bijaksana)
- Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi)
- Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan)
- Syair Si Burung Pingai
- Syair Si Burung Pungguk
- Syair Sidang Fakir
- Syair Dagang
- Syair Perahu
Baca juga Biografi dan pemikiran Hamzah Fansuri
Karya Syamsuddin Sumatrani
Sama dengan Hamzah Fansuri, hanya sedikit karya dari Syamsuddin Sumatrani, salah satu murid dari Hamzah Fansuri, yang selamat dari pemusnahan di masa Sultan Iskandar Tani. Diantaranya adalah :
- Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
- Mir’at al-Haqiqat
- Jawahir al-Haqaiq
- Mir’at al-Mu’minun
- Mir’at al-Iman
- Syarah Mi’ratul Qulb
- Kitab al-Martabat
- Kitab al-Harakat
Karya Nuruddin al-Raniri
Nuruddin al-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid al-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Nuruddin adalah seorang polymath, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabang pengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, dan mistisisme.
Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman. Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.
Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.
Pada tahun 1637 ia kembali ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman. Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat.
Keadaan berbalik melawan Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani mangkat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Nuruddin dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473). Saif ar-Rijl mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.
Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir al-`Ulum fi Kasyfi al-Ma`lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474). Nuruddin akhirnya ia kembali ke Ranir. Ia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 21 September 1658.
Secara keseluruhan, Nuruddin Al-Raniri menulis sekitar tiga puluh naskah, di antaranya adalah:
- Bustan as-salatin (Taman Raja-raja) (1638)
- Sirat al-Mustakin (1634)
- Durrat al-Faraid (1635)
- Hidayat al-Habib (1635)
- Akhbar al-Akhirah fi Ahwal Yaum al-Qiyamah
- Al-Tabiyan fi Ma`rifat al-`Adyan
- Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman
- Lath`aif al-Asrar
- Syifa` al-Qulub
- Undat al-I`tiwad
- Jawahir al-Ulum fi Kasyfi al-Ma`lum
Karya Abdul Rauf bin Ali al-Fansuri
Abdul Rauf bin Ali al-Fansuri atau lebih dikenal dengan Abdurrauf Singkil lahir di Singkil, Aceh pada tahun 1024 H/1615 M. Abdurrauf Singkil adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Ia juga disebut-sebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia.
Berikut ini adalah karya-karyanya :
Berikut ini adalah karya-karyanya :
5 Komentar untuk "Corak Keagamaan Yang Sampai di Nusantara Pada Abad ke-16 M"
Kayaknya lagi masa dalam review adsense nih ada laman blank nya. semoga di Acc
Jujur pembahasan nya dalam banget..
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877