KESULTANAN ACEH DARUSSALAM
Untuk mengetahui bagaimana gambaran kesultanan Aceh Darussalam semenjak berdirinya tahun 1514 M, yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayat Syah, hingga menjelang masa pemerintahan Sultanah Syafiatuddin Syah tahun 1641 M dapat dilihat secara singkat melalui perkembangan Kesultanan Aceh Darussalam dalam uraian di bawah:
Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M)
Setelah berhasil melepaskan Aceh dari Pedir dan kemudian menggalang kekuatan dengan menaklukkan dan menyatukan daerah-daerah disekitarnya ke dalam kekuasaannya. Ali Mughayat Syah mendirikan kerajaan Aceh yang merdeka, yaitu Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1514 M.
Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1520 dia berhasil merebut Daya yang terletak di pantai barat Sumatera bagian utara, yang menurut Tome Pires belum menganut agama Islam. Sesudah itu, Ali Mughayat Syah memulai penaklukan-penaklukan ke pantai timur, merebut kekuasaan atas daerah-daerah penghasil lada dan emas.
Pada bulan Mei 1521, armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito menyerang Aceh. Dalam pertempuran itu, Portugis mengalami kekalahan dan de Brito sendiri tewas. Sultan Ali Mughayat Syah terus melakukan pengejaran terhadap Portugis sampai ke Pedir dan pasukan Sultan Ali Mughayat Syah mengalami kemenangan hingga Portugis dan raja Pedir, Sultan Ahmad mundur ke Pasai. Sultan Ali Mughayat Syah segera mengejarnya dan berhasil merebut senjata mereka berupa sejumlah besar alat-alat perang meriam dan sebagainya.3 Sultan Ali Mughayat Syah berhasil merebut Pasai dari tangan Portugis dan meletakkan fondasi bagi kebangkitan politik Aceh pada tahun 1524.
Pihak Portugis tidak dapat melupakan perbuatan sultan Ali Mughayat Syah yang mengusirnya secara keras dari Pedir, Pasai dan kota-kota lainnya di Aceh pada tahun 1524. Armada Aceh masa sultan Ali Mughayat Syah ini merupakan saingan yang hebat untuk Portugis di lautan. Kesuksesan Mughayat Syah banyak dibantu oleh adiknya, Raja Ibrahim. Dalam hal ini, Ibrahim menggunakan senjata Portugis dari kemenangannya di Pedir untuk mengepung benteng yang ada di Pasai. Pengusiran Portugis yang disertai penaklukkan Pasai semakin memperkuat posisi Aceh di dalam jalur perdagangan Selat.
Pada tahun 1527 sultan Ali Mughayat Syah berhasil menghancurkan armada Portugis yang dipimpin oleh De Souza dan banyak tentara yang menjadi tawanan. Karena itu Portugis lalu mencoba mengadakan hubungan dengan Aceh untuk membebaskan orang-orangnya dengan mengirim utusan ke Aceh. Utusan Portugis tersebut dibunuh pada tahun 1529.
Sultan Salahuddin (1528-1537 M)
Sepeninggal sultan Ali Mughayat Syah pada 12 Zulhijjah tahun 936 Hijriyah (7 Agustus 1530 M).8 kemudian kekuasaan digantikan oleh anak sulungnya yang bernama Salahuddin, dia dianggap sebagai penguasa yang lebih lemah. Sultan Salahuddin tidak memiliki kemampuan sebagaimana ayahnya, dia tidak banyak berbuat untuk kemajuan kerajaan Islam Aceh. Masa kepemimpinan Salahuddin tidak membawa Aceh semakin besar tetapi justru semakin merosot. Salahuddin seorang raja yang tidak menghiraukan pemerintahan. Dia hanya memikirkan kesenangan pribadi. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada seorang magkubumi, yaitu Raja Bungsu.
Perkembangan Aceh masa Sultan Salahudddin ini tidak jelas. Akibat kelemahan pemerintahannya, terjadi banyak peristiwa yang merugikan kerajaan dan secara tidak langsung telah memberi kesempatan kepada lawan (Portugis) untuk berkembang. Pada tahun 1537 M, suatu serangan yang dilancarkan oleh pihak Aceh terhadap Malaka mengalami kegagalan. Djajadiningrat yakin bahwa Salahuddin sudah digulingkan oleh saudaranya, Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar, sebelum serangan terhadap Malaka itu dilancarkan, sedangkan Lombard yakin bahwa Salahuddin lah yang melakukan serangan itu dan ia baru digulingkan oleh saudaranya kira-kira pada tahun 1539 M.
Ala’uddin Ri’ayat Syah I, Adik Salahuddin yang ditugaskan oleh Ali Mughayat Syah memerintah di Samudera Pasai ternyata tidak dapat membiarkan bahaya kemerosotan Aceh di tangan Salahuddin. Karena itu Ala’uddin Ri’ayat Syah I kemudian menyerang Aceh hingga menewaskan Raja Bungsu. Sultan Salahuddin ditangkap dan dipenjarakan. Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah pun memproklamasikan dirinya pemimpin kesultanan Aceh.
Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah I atau al-Kahhar (1537-1568 M)
Dia adalah anak bungsu Ali Mughayat Syah yang menggantikan saudaranya dan mengukuhkan kekuasaan Kesultanan yang mulai timbul. Mendez Pinto yang singgah di Sumatera pada tahun 1539, menyebut adanya perang antara orang Batak dan balatentara Aceh yang katanya mempunyai laskar orang “Turki, Kambay dan Malabar”. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah. Di bawah Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah, yang sering diberi gelar Al-Kahar (sang penakluk), kesultanan Aceh berkembang lebih pesat. Beliau diberi gelar Al-Kahhar karena kemenangan-kemenangan dalam perebutan pengaruh dengan Portugis di beberapa tempat. Karena pada masa itu Portugis tidak bosan-bosannya meluaskan kekuasaannya, bahkan sampai persaingan yang keras dalam perebutan monopoli perdagangan di pantai barat pulau Sumatera. Al-Kahar memprioritaskan langkah-langkah sebagai berikut:
- Peningkatan perdagangan dan jaminan keselamatan yang merupakan kelanjutan kebijaksanaan Sultan Ali Mughayat Syah
- Meneruskan penumpasan imperialis Portugis yang terus menerus mengancam, antara lain ditandai oleh kegiatan-kegiatan Portugis di Selat Malaka dan di Samudera Hindia.
Sultan inilah yang menyempurnakan kesatuan Kesultanan Aceh dengan kerajaan Pedir, Pasai, Daya dan Aru. Kesultanan Aceh diperkuat balabantuannya dengan mengadakan perhubungan agama Islam dan politik dengan Sultan Turki (Sultan Salim), bekerja sama bantu membantu dengan sultan-sultan Islam di Banten, Jepara, Kudus dan Rembang (Jawa) yang berkerabat pula dengan raja Pasai dan mempunyai duta di India, Persi dan Turki. Selain itu, guna menjaga kekuasaannya, putera-putera Al-Kahhar yaitu Sultan Abdullah ditempatkan di pulau Kampai (Aru), Sultan Mongol ditempatkan di Pariaman (Sumatera Barat) dan Sultan Husein menjadi pembantu sultan di Aceh Pedir. Meskipun telah diangkat beberapa di daerah-daerah dari keturunannya sendiri, namun politik luar negeri tetap dipegang oleh pemerintah pusat di Aceh.
Pada masa pemerintahan Al-Kahhar, Kesultanan Aceh menyerang Malaka sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1547 M dan 1568 M. Setelah mengalami kegagalan dalam penyerangan pertamanya, Aceh terus memperkuat kedudukannya. Don Antonio de Noronda, Gubernur Portugis di Goa tahun 1564, mendapat kabar bahwa Aceh telah membentuk suatu front persatuan negara-negara Islam untuk menentang Portugis. Dengan membentuk liga negara-negara melawan Portugis, Al-Kahhar mendapat penembak-penembak, senjata dan amunisi dari Turki serta mengumpulkan pasukan yang lebih besar daripada sebelumnya.
Menurut sepucuk surat dari utusan Venesia di Istanbul (tertanggal 15 juni 1562) diketahui bahwa Aceh mengirim utusan ke Turki untuk meminta meriam guna memerangi bangsa Portugis. Baru pada tahun 1568 Aceh kembali menyerang Portugis di Malaka. Dalam serangan ini Aceh mengerahkan satu armada yang mengangkut 15.000 prajurit dan 400 orang Turki, berikut 200 meriam tembaga. Sultan Al-Kahhar sendiri memimpin penyerangan. Tapi, pihak Portugis di Malaka sudah siap menghadapi sebab bantuan dari Goa dan Portugal sudah sampai lebih dulu. Selain itu, Portugis juga meminta bantuan Johor dan Kedah. Dalam pertempuran besar-besaran pada tanggal 16 Februari 1568 tersebut, Sultan kehilangan puteranya yang tertua yaitu Sultan Abdullah yang menjadi Sultan Aru. Dalam serangan ini Portugis dibantu oleh Johor. Karena Johor telah membantu Portugis maka Aceh menyerang kerajaan itu dan berhasil mendudukinya.
Sultan Al-Kahhar tutup usia pada tahun 1571 dan dimakamkan di Kandang XII. Pada batu nisannya terbaca 8 Jumadil Awal 979 Hijriyah (28 September 1571 M). Berbeda empat tahun dengan catatan Bustanus Salatin yang mengatakan bahwa Al-Kahhar memerintah selama 28 tahun Sembilan bulan dan mangkat pada tahun 975 H. Catatan pada batu nisannya tentu yang lebih dapat dipercaya.
Sultan Husin (1571-1579 M)
Setelah mangkatnya Sultan Al-Kahhar, terjadi kemelut tahta kerajaan, raja demi raja silih berganti naik dan turun tahta. Sultan Al-Kahhar digantikan oleh putera keduanya, Sultan Husin yang bergelar Ali Ri’ayat Syah. Dalam politik keamanan dia meneruskan kebijakan ayahnya untuk mengusir Portugis. Namun dia gagal dalam dua kali penyerangan ke Malaka.
Tahun 1576, raja Portugal memberi tugas kepada Mathias de Albuquerque untuk berangkat ke Malaka dengan dua kapal perang, yaitu Santa Catherina dan Sao Jorge, berikut tentara dan segala kelengkapannya. Dia berangkat tanggal 2 Maret 1576. Ketika pihak Aceh mendapat informasi bahwa kedua kapal tersebut akan lewat di perairan Selat Malaka, armada Aceh membuat persiapan untuk mencegatnya. Namun kedua kapal Portugis itu berhasil lolos. Sementara armada Aceh baru mengetahui hal itu pada bulan Desember, dan segera memburunya ke Malaka.
Sejak tiba di Malaka, Mathias de Albuquerque sudah siap mengahadapi serangan Aceh. Pasukan Aceh gagal melakukan pendaratan. Di Malaka terdapat sebanyak 12 kapal perang Portugis yang siap menghadapi serangan Aceh. Mengenai peristiwa ini, I. A. Mac Gregor, yang mengutip Vida de Mathias D’Albuquerque, mengatakan bahwa kekuatan Aceh sebanyak 10.000 prajurit dan sangat banyak meriam. Dalam kutipan itu diceritakan juga bahwa Sultan Husin memimpin sendiri penyerangan tersebut.
Riwayat lain mengatakan bahwa Sultan Husin ternyata tidak disukai oleh kedua saudaranya yang telah menjadi Sultan di Pariaman dan Aru. Ia juga tidak disenangi oleh Sultan Fansur dari Barus, walaupun ia adalah iparnya sendiri. Akibatnya suatu perang terjadi dimana ketiga Sultan ini mengadakan perlawanan terhadap Sultan Husin. Mereka bertiga dibantu oleh orang-orang Batak. Dalam pertempuran ini Sultan Aru dan Sultan Husin meninggal. Sehingga yang tertinggal adalah Sultan Mughal dari Pariaman. Sultan Husin mangkat pada 12 Rabiul Awal tahun 987 Hijriyah (8 Juni 1579 M).
Sultan Muda (1579 M)
Sayang sekali Sultan Husin tidak meninggalkan putera yang telah dewasa. Agar kerajaan tidak terputus, sultan Husain akhirnya digantikan oleh puteranya sendiri yaitu Sultan Muda bin Husain Syah yang berusia 4 bulan. Dia hanya diangkat menjadi sultan bayangan dan setelah 7 bulan dia meninggal dunia. Menurut A. Hasjmy bahwa Sultan Muda diangkat menjadi sultan pada usia 7 bulan dan hanya berlangsung selama 28 hari. Sedangkan menurut Denys Lombard Sultan Muda menjadi pengganti ayahnya pada umur 4 tahun dan hanya beberapa bulan.
Sultan Mughal Sri Alam (1579 M)
Pengganti Sultan Muda adalah Sultan Mughal, adik dari Sultan Husain (putera Marhum Al-Kahhar) yang menjadi raja di Pariaman (Sumatera Barat). Sultan Mughal dinobatkan menggantikan Sultan Muda dengan gelar Sultan Sri Alam. Sultan ini rupanya seorang yang bengis dan tidak becus memerintah. Sultan Mughal adalah seorang yang kejam dan tidak disukai oleh ulama-ulama karena pekerjaannya yang suka menyambung ayam dan tidak menghiraukan pemerintahan. Oleh karena itu tejadilah revolusi sehingga dia terbunuh oleh lawan-lawan politiknya yang menginginkan kedudukan menjadi Sultan setelah memerintah selama beberapa bulan (hanya lebih kurang 100 hari).
Sultan Zainal Abidin (1579 M)
Setelah itu posisi Sultan digantikan oleh Sultan Zainal Abidin, putera Sultan Abdullah yang menjadi Sultan Aru (putera Al-Kahhar yang tewas ketika menyerang Malaka pada tahun 1568 M). Sultan Zainal Abidin ini pun bengis dan haus darah (suka membunuh). Begitu naik tahta ia melakukan pembantaian terhadap para pengikut Sultan Mughal Sri Alam, sehingga kekacauan tidak terelakkan lagi. Karena kebengisannya itu sehingga timbullah golongan yang merasa jika Sultan Zainal Abidin ini berkuasa lebih lama, maka negeri akan kacau balau terus maka sultan Zainal Abidin ini pun dibunuh. Hanya beberapa bulan naik tahta, dia terbunuh pada tanggal 5 Oktober 1579 M.
Sultan Mansur Syah (1579-1585 M)
Setelah terbunuhnya Sultan Zainal Abidin, kondisi dan situasi Kerajaan Aceh semakin buruk, tidak ada lagi Sultan yang memiliki kapasitas kepemimpinan sebagaimana Sultan Mughayat Syah dan al-Kahhar. Sementara unsur Perak sudah mulai masuk ke kerajaan Aceh. Sekitar tahun 1577 Aceh menyerang Perak. Dalam serangan ini Sultan Perak, Ahmad, terbunuh. Permaisuri dan 17 orang putera puterinya dibawa ke Aceh. Seorang di antara putera laki-laki yang tertua bernama Mansur dinikahkan dengan puteri Sultan Aceh bernama Ghana. Tidak lama kemudian Mansur diangkat menjadi Sultan Aceh dengan gelar Sultan Mansur Syah. Pendapat lain mengatakan bahwa putera Perak itu bernama Alauddin putera Sultan Ahmad Mansyur Syah. Setelah menjadi Sultan bergelar Sultan Alauddin Mansyur Syah, gabungan nama antara Sultan Aceh Alauddin Ri’ayat Syah (Al-Kahhar) dengan nama ayahnya sendiri Sultan Mansyur Syah dari Perak. Sultan Mansur Syah naik tahta pada tahun 1579 dan hanya beberapa tahun kemudian, yakni pada 12 Januari 1585 dia mangkat karena terbunuh. Dia mangkat ketika kembali dari perlawatan ke Perak guna menabalkan adiknya menjadi Sultan di sana.
Sultan Buyung (1585-1589 M)
Sesudah Sultan Mansur Syah meninggal pada tahun 1585, tahta Aceh diduduki oleh Sultan Buyung dengan gelar Sultan Ali Ri’ayat Syah, putera Sultan Munawar Syah, yang dirajakan di Indrapura. Sultan ini naik tahta menyusul kata mufakat para orang besar. Dengan dibaiatnya Sultan Ali Ri’ayat Syah menduduki singgasana kerajaan Aceh, maka kembalilah kekuasaan kepada keturunan Sultan Ali Mughayat Syah. Tetapi ternyata sultan Buyung tidak bisa memenuhi harapan masyarakat. Karena selain masih muda, juga kurang mampu dalam bidang kenegaraan, ternyata juga memiliki tabiat buruk dengan kebiasaan berjudi dan bermewah-mewah. Oleh sebab itu tidak lama dia memerintah, dia kemudian mati terbunuh pada tahun 1589 M.
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah atau Al-Mukammal (1589-1604)
Sepeninggal Sultan Buyung, kesultanan Aceh diperintah oleh seorang bangsawan yang sudah tua yang dikenal dengan sebutan Al-Mukammil. Sultan ini dibaiat karena kejujuran dan keshalehannya serta memiliki karakter lemah-lembut. Tetapi sultan ini tidak memiliki jiwa kenegaraan sehingga kesultanan Aceh semakin suram dan goyah. Sementara itu, Portugis sudah semakin menguasai Malaka dan mulai mengusik Aceh. Karena itu, sultan al-Mukammil kemudian meminta bantuan dengan mengirim utusan kepada sultan Ahmad I di Istanbul. Akan tetapi permintaan tersebut tidak mendapat balasan kecuali sebuah “bintang kehormatan” yang dikirim ke Aceh.
Dalam mengendalikan kekuasaannya beliau sangat lemah lembut sehingga pada masanya tidak banyak perubahan yang terjadi terutama dalam perluasan wilayah, dan semakin hari kekuasaannya semakin goyah. Dengan sifat lemah lembut itu bangsa Portugis telah berani mengusik kedaulatan Aceh dan disusul pula datangnya bangsa Belanda ke wilayah Aceh. Menjelang abad ke17 sifat lemah lembut beliau dalam memimpin kerajaan Aceh tidak lagi mampu mengatasi persoalan-persoalan kerajaan yang semakin komplek dengan datangnya bangsa barat ke Aceh. Maka pada tahun 1604, sultan digantikan oleh putera keduanya51 yaitu sultan muda.
Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Sultan Muda (1604-1607)
Pada awalnya, sultan Muda diutus ayahnya menjadi sultan di Pedir, namun karena tidak memuaskan, sultan Muda ditarik kembali ke Aceh untuk membantu ayahnya, al-Mukammil. Terutama untuk menambah pengalaman bagaimana mengelola sebuah kerajaan. Akhirnya sultan Husin yang menjadi sultan di Pasai pindah ke Pedir. Ini terjadi dalam tahun 1601. Ternyata sultan Muda bernafsu menduduki kursi ayahnya. Sehingga pada april 1604, dia menjatuhkan al-Mukammil dan memproklamasikan dirinya sebagai sultan Aceh.
Sultan Husin yang menjadi sultan di Pedir, tidak suka dengan sultan Muda karena telah menurunkan dan merampas kekuasaan ayahnya. Maka terjadilah pertempuran dikaki gunung Seulawaih, Sultan Husin dibantu Iskandar Muda. Sultan Husin tewas dalam pertempuran tersebut dan Iskandar Muda dapat ditawan. Selama masa pemerintahan sultan Muda tersebut timbullah pemberontakan dari Iskandar Muda yang menentang perbuatannya. Suasana pemerintahan jadi kacau keadaan ekonomi menjadi mundur, karena musim kemarau sehingga rakyat kekurangan makanan. Dalam masa sultan Muda memerintah, utusan-utusan Aceh yang dikirim oleh ayahnya ke Belanda pulang kembali. Ketika pemerintahannya dalam kemelut itu, Aceh diserang oleh Portugis, tetapi serangan itu dapat dilawan oleh barisan Iskandar Muda yang terlepas dari tawanan, sehingga kota Portugis di Ladong dapat dirampas. Maka Portugis lari ke malaka, setelah sultan Muda wafat diangkatlah Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
Setelah kekacauan yang mendahului dan mengiringi kenaikannya menjadi sultan, sultan Iskandar Muda harus memulihkan ketertiban dalam negeri dan pertama-tama dengan menghapuskan perlawanan orang kaya yang dikenal suka bersekongkol dan memberontak terhadap sultan. Dengan mengamankan golongan yang selalu bergolak itu berarti membebaskan diri dari oposisi yang membahayakan. Untuk menghindari oposisi yang membahayakan itu, sultan Iskandar Muda menindas pemimpin yang oposisi dan memberikan kepercayaan kepada orang-orang yang dapat diandalkannya.
Politik ekspansinya dimulai pada tahun 1612 dengan penyerbuan kota-kota di pantai timur Sumatra. Deli jatuh setelah pengepungan selama enam minggu, dan kemudian Aceh berhasil menyerang Aru dari laut pada awal tahun 1613. Pada tahun 1613, dia juga berhasil mengalahkan Johor dan membawa serta sultan Johor bersama anggota keluarga kerajaan yang lain dan juga sekelompok padagang VOC, ke Aceh. Akan tetapi pihak Johor berusaha keras menuntut kemerdekaannya dan berhasil memukul mundur Aceh tidak lama setelah tahun 1613. Kemudian dalam usahanya melawan Aceh, Johor membentuk persekutuan dengan Pahang, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar dan Siak. Akan tetapi serangan-serangan yang agresif dari pihak Iskandar Muda masih terus berlanjut. Sehingga pada tahun 1614, dia berhasil mengalahkan armada Portugis di Bintan. Tahun 1617, dia berhasil merebut Pahang dan memboyong penguasanya, Sultan Ahmad. Tahun 1620, dia berhasil menaklukkan Kedah. Tahun 1623 berhasil menyerang Johor dan pada tahun 1624 berhasil merebut Nias. Pahang yang setelah ditaklukkan pada tahun 1617, masih berkali-kali melakukan pemberontakan terhadap Aceh, yang pertama pada tahun 1630 dengan mendapat bantuan dari Johor dan yang kedua pada tahun 1635. Bagi sultan Iskandar Muda, Pahang dan Johor perlu dikuasai karena kedudukannya yang strategis dalam perdagangan.
Dalam waktu singkat, Sultan Iskandar Muda membentuk Aceh menjadi negara paling kuat di Nusantara bagian barat. Keberhasilan-keberhasilannya didasarkan pada kekuatan militer yang mengesankan. Akan tetapi, pada tahun-tahun selanjutnya gerakan ekspansi Iskandar Muda berhasil dihentikan oleh Portugis. Tahun 1629, Iskandar Muda mengirim ekspedisi untuk menggempur Malaka tetapi armadanya dihancurkan semua oleh Portugis. Setelah itu, Iskandar Muda hanya mengirim dua ekspedisi laut lagi yaitu pada tahun 1630 dan 1635 yang keduanya bertujuan menumpas pemberontakan di Pahang. Setelah tahun 1629, Johor yang telah bebas dari Aceh mulai berusaha menegakkan kembali pengaruhnya di semenanjung Malaya dan kawasan selat bagian selatan.
Sultan Iskandar Muda dari awal pemerintahannya menempuh politik konfrontasi dengan satu tujuan yaitu menaklukkan Malaka. Namun serangan yang dilancarkan oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1615 dan 1629 mengalami kegagalan. Sejak penyerangannya ke Malaka yang mengalami kegagalan itu, Aceh tidak lagi mengalami kemajuan dalam kancah luar negeri. Dengan berangsur-angsur kegiatan Aceh di laut semakin berkurang. Belanda sendiri melihat kegagalan itu sebagai suatu kemunduran Aceh yang mendorongnya untuk secara aktif membuka hubungan dengan negeri-negeri yang jauh dari pengawasan Aceh, terutama Jambi dan Johor. Hingga akhirnya Sultan Iskandar Muda yang telah membawa kejayaan kesultanan Aceh tersebut mangkat pada 29 Rajab 1046 H atau 27 Desember 1636 M.
Menurut Beaulieu, kekuasaan Aceh pada masa sultan Iskandar Muda merupakan bagian yang paling menguntungkan. Di sebelah timur dia menguasai Pedir, Pasai sampai Deli dan Aru, di sebelah barat meliputi Daya, Labu, Singkel, Barus, Bataham, Pasaman, Tiku, Priaman dan Padang. Serta negara-negara vassal di Semenanjung Melayu yaitu Johor, Kedah, Pahang dan Perak.
Sultan Iskandar Tsani (1636-1641)
Pada masa pemerintahan sultan Iskandar Tsani yang hanya berlangsung selama lima tahun itu ekspansi ke luar Aceh sudah semakin berkurang. Iskandar Tsani terkenal sebagai orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain, seperti mengampuni bangsa Portugis yang telah menipunya dan mengampuni orang yang hendak melarikan kapalnya. Pergeseran politik sultan Iskandar Tsani yang jauh lebih lunak dibanding politik keras dan tak kenal damai yang ditempuh Iskandar Muda telah membawa akibat negative bagi Aceh. Situasi tersebut menjadi peluang yang menguntungkan bagi Portugis dan Belanda untuk menguasai Malaka dan melemahkan pengaruh Aceh. Armada Aceh sendiri pada waktu itu hanya tinggal 20% dari kekuatan semula serta wibawa sultan telah mulai berkurang di mata orang Belanda, dan orang asing yang lain. Walaupun mereka tidak secara terang-terangan menyatakannya.
Secara formal, Belanda terus mengadakan hubungan persahabatan dengan Aceh. Namun, ketika Aceh meminta bantuan kepada Belanda untuk menyerbu Malaka, Belanda hanya menyambut dengan dingin dan berpura-pura selalu menyatakan simpatinya atas maksud Aceh tersebut. Sultan Iskandar Tsani di tahun 1639, telah mengadakan perjajian dengan Belanda. Sultan memberi izin kepada Belanda untuk masuk ke Perak dan secara monopoli membeli timah di sana dengan harga rendah dan sebagai imbalannya, sultan Iskandar Tsani dijanjikan bantuan dari Belanda untuk menghadapi Portugis.
Selama masa pemerintahan sultan Iskandar Tsani ini tidak terjadi serangan terhadap negara-negara Melayu. Bahkan peralihan kekuasaan dari Portugis ke pemerintah Belanda atas Malaka pada 14 Januari 1641 tidak memunculkan reaksi apapun dari Sultan Iskandar Tsani. Kejatuhan Malaka tersebut membuat suasana tidak menguntungkan bagi Aceh, terutama karena semula Malaka diharapkan menjadi pangkalan kekuatan Aceh. Sementara setelah berhasil menguasai Malaka, Belanda pun segera memperkuat benteng pertahanannya di Malaka. Sultan Iskandar Tsani sendiri mangkat pada 15 Februari 1641, satu bulan setelah Malaka diduduki Belanda.
PEMERINTAHAN
Sistem pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam adalah menganut asas permusyawaratan. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Sayid Abdullah al-Jamalul lail yang konon berdasarkan buku al-Qanun Tadzkirat Tsabitah as-Sulthan Makota Alam, bahwa dalam kerajaan Aceh ada tiga buah balai permusyawaratan yaitu: Balairung Sari tempat berundingnya Hulubalang dan ulama tujuh serta para menteri, balai gading tempat berundingnya Hulubalang delapan, ulama tujuh dan para menteri, dan Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 173 orang wakil rakyat dan 73 wakil mukim berunding.
Pada masa al-Kahhar, penduduk dibagi berdasarkan sukee atau kaom. Warga asli Batak merupakan sukee atau kaom lhee reutoih (kaum tiga ratus), orang-orang Hindu disebut kaom imeum peuet (kaum imam empat), dan penduduk pendatang disebut kaom tok bate. Pembagian seperti itu menunjukkan bahwa setiap kaom memiliki peranan penting.
Pada masa sultan Iskandar Muda telah tersusun pemerintahan secara rapi yang secara koordinatif menggabungkan antara pusat dengan daerah-daerah. Wilayah inti kesultanan Aceh terbagi atas wilayah sagi dan wilayah pusat. Wilayah sagi terbagi lagi menjadi wilayah yang lebih kecil setingkat distrik. Masing-masing distrik terbagi atas mukim-mukim dan mukim-mukim terbagi lagi menjadi gampong-gampong. Tiap-tiap sagi dikepalai oleh Panglima Sagi atau sering disebut Hulubalang Besar yang bergelar Teuku, sedangkan untuk masing-masing distrik dikepalai oleh Hulubalang yang bergelar Datuk.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan eksekutif, sultan dibantu oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh Mangkubumi (perdana menteri). Di samping kabinet, sultan didampingi pula oleh sebuah dewan pertimbangan yang beranggotakan empat orang syaikh ka’bah yang diberi gelar mufti syaikhul Islam. semua keputusan negara termuat dalam sarakata dengan dibubuhi stempel cap sikureung.
Dalam masalah perundang-undangan, Aceh telah memiliki sistem perundang-undangan yang disebut Adat Makota Alam yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda dan dijadikan acuan bagi kerajaan lain dalam pembuatan undang-undang. Bahkan A. C. Milner mengatakan bahwa baru Aceh dan Banten, kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara. Para penguasa memberikan perintah kepada rakyat untuk menegakkan kewajiban-kewajiban agama seperti sultan Ala al-Din dan sultan Iskandar Muda yang memerintahkan shalat lima waktu sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijatuhkan kepada mereka yang melanggar kewajiban ini. Para sultan juga memberlakukan hukum syariah. Hukum potong tangan atau kaki, menurut mazhab syafi’i, diberlakukan bagi para pelaku pencurian. Hukuman seperti ini diberlakukan di Aceh sepanjang abad ke-17. Kesultanan Aceh juga menjatuhkan hukuman syariah terhadap orang-orang yang kedapatan meminum arak dan berjudi. Selain itu Milner juga menyatakan bahwa seorang laki-laki yang dijatuhi hukuman mati tidak dieksekusi sesuai dengan hukum Islam namun diinjak-injak sampai mati oleh seekor gajah atau mati ditusukdengan besi yang dimasukkan ke dalam minyak panas.
EKONOMI
Kesultanan Aceh pada abad ke-16 merupakan kekuatan Islam yang besar, berhadapan dengan Malaka yang dikuasai orang-orang Portugis dan kesultanan Johor sebagai saingannya dalam hal perdagangan dan kenegaraan. Selama masa pemerintahan sultan al-Kahhar, perdagangan di semua pelabuhan dipusatkan di Banda Aceh yang telah menjadi pelabuhan muslim utama di wilayah selat Malaka. Dari Aceh ini kemudian lada dan rempah-rempah lainnya yang berasal dari Asia Tenggara diekspor ke Timur Tengah dan Laut Tengah. Kapal-kapal milik orang India membayar pajak 5% atas impor maupun ekspor, sedangkan orang-orang Eropa diharuskan oleh Sultan Iskandar Muda untuk membayar pajak sebesar 7%.
Pada masa al-Mukammal telah dibuka empat pelabuahan menjadi pelabuhan internasional (Pantai Daya, Tjermin, Pedir dan Pasai) di mana orang-orang asing diperbolehkan untuk masuk. Usaha ini dilakukan untuk membangun kembali ekonomi Aceh yang telah merosot akibat perang dan konflik internal. Kebijakan ini pada jauh berbeda dengan sebelumnya, karena pada masa sebelumnya orang Portugis sama sekali dilarang masuk.
Semua penjelajah Eropa sama-sama menegaskan bahwa di Aceh beras jarang ada dan harganya mahal. Bahkan Lancaster sudah berkata pada tahun 1602. Menurut pendapat umum bahwa orang Aceh itu bukan petani. Seperti Beaulieu yang mengatakan “orang-orang itu angkuhnya sedemikian hingga tak sampai hati memegang bajak. Mereka tidak mau memikirkannya dan segala urusannya diserahkan kepada budak-budak mereka”. Di dekat kota memang ada beberapa petani yang menanam padi sedikit untuk dimanfaatkan sendiri. Sedangkan daerah ibukota tidak cukup pertaniannya untuk memberi makan penduduknya sehingga sebagian besar berasnya datang dari luar. Jadi orang Aceh selalu bergantung pada luar dan sultan harus memikirkan dua hal, yaitu agar pengiriman beras dari luar tetap lancar dan ada budak yang menanam padi di daerah sekitarnya. Sesaat saja perhatian terhadap kedua hal itu mengendur, maka harga semakin melambung bahkan bisa timbul kelaparan. Seperti dalam Bustan al-Salatin yang menyebut adanya kekeringan dan kelaparan yang merupakan bencana besar di bawah sultan Muda yang memerintah 1604-1607.
Dalam usaha untuk memonopoli perdagangan lada, pada masa sultan Iskandar Muda dilakukan pembinasaan kebun-kebun lada di Kedah yang dianggap menyaingi lada Sumatra sehingga perdagangan dapat dipaksa memusatkan diri di Aceh. Setelah daerah-daerah penghasil lada berada di bawah kekuasaan Aceh, sultan dengan mudah memerintahkan untuk membawa lada-lada tersebut ke Kutaraja, dimana sultan menawarkannya kepada pembeli dengan harga yang tinggi. Di bawah pemerintahnnya yang ketat, sultan Iskandar Muda juga menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai upeti baginya. Sisa dari produksi itu dapat dijual dengan harga yang telah ditetapkan oleh sultan. Di bawah sistem monopoli perdagangan ini orang-orang asing hanya dapat berdagang di Kutaraja setelah mendapat izin dari sultan.
Bea cukai yang dipungut pada masa sultan Iskandar Muda sangat tingggi. Selain itu juga ada perbedaan perlakuan terhadap orang Muslim dan orang Kristen. Orang Muslim tidak membayar bea keluar tetapi pada waktu memasukkan barang dagangan, mereka diperlakukan sangat keras. Orang Inggris dan Belanda membayar 7% dari barang dagang yang mereka turunkan dan berupa bahan. Selain itu masih ada beberapa pajak dan pembayaran lain sehingga bea masuk mencapai 10%. Sedangkan orang Muslim membayar dengan emas dan barang mereka yang ditaksir oleh bea cukai, diberi harga 50% lebih tinggi dari harga yang sebenarnya. Karena itu banyak para pedagang dan para penjelajah yang yang mengeluh mengenai sangat tingginya bea cukai yang dipungut ketika singgah di Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda tersebut.
Pada masa Iskandar Tsani, pendapatan utama Aceh bersumber dari hasil pertambangan emas di Kaway XII yang digali oleh penduduk Pedir sejak masa Iskandar Tsani. Menurut Rouffaer, pertambangan emas tersebut telah lama dikembangkan antara Daya dan Woyla, sementara di Kaway XII sendiri terdapat 12 lokasi penggalian.
KEAGAMAAN
Setelah Islam mulai berakar dalam masyarakat, peran saudagar muslim dalam menyebarkan Islam digantikan dan diambil oleh ulama. Mereka bertindak sebagai penasehat sultan (Syekh al-Islam). Posisi Syekh al-Islam ini mirip dengan yang terdapat di kerajaan Turki Usmani, mereka memegang peranan penting dalam masalah-masalah agama, membantu sultan dalam menjalankan perannya sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus persoalan keagamaan umat. Dalam tradisi kerajaan Aceh, setiap ulama memegang peranan penting bagi sultan dalam bidang agama. Selain itu, mereka juga menjadi penasehat dalam bidang ekonomi dan politik. Namun demikian, fungsi ulama tetap menonjol sebagai kekuatan spiritual.
Ketika menjadi pusat Islam, Aceh juga mengalami pergolakan tasawuf antara golongan Wahdatul Wujud dan Wahdatus Syuhud. Kedua paham ini telah tumbuh sejak abad pertama hijriyah. Wahdatul Wujud pada umumnya dianut oleh aliran politik Syi’ah, sementara paham Wahdatus Syuhud pada umumnya dianut oleh aliran politik Ahlus Sunnah. Kedua golongan ini berusaha saling merebut kekuasaan atau mempengaruhi penguasa. Karena itu, maka terjadilah pertentangan antara kedua golongan tersebut. Pertentangan yang pada mulanya karena hendak merebut kekuasaan politik, lama kelamaan berubah menjadi pertentangan akidah.
Di antara tokoh yang mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Wahdatul Wujud merupakan ajaran para sufi yang banyak berkembang di Persia yang menekankan “alam dan Allah adalah satu”. Pandangan ini berbeda dengan pandangan para ahli ilmu kalam termasuk juga golongan Wahdatus Syuhud, yang membedakan wujud menjadi dua, yaitu wujud yang bersifat abadi dan wujud yang bersifat fana. Selain kedua tokoh tersebut, ada pula seorang ulama bernama Nuruddin al-Raniri, dia adalah tokoh yang sangat menentang paham Wahdatul Wujud Hamzam Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Di antara kedua golongan ini terjadi polemik yang sengit dan kemenangan tidak tergantung kepada kepandaian mereka berhujjah, melainkan siapa yang mendapat perlindungan dari Sultan yang berkuasa. Ketika Nuruddin al-Raniri menjadi ulama penting di Aceh pada masa sultan Iskandar Tsani, dia mengeluarkan fatwa bahwa penganut Wahdatul Wujud adalah kafir dan menyeru penganutnya bertaubat, yang tidak mau bertaubat dibunuh dan kitab-kitab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dibakar di halaman masjid Baitur Rahman.
Karena posisinya yang istimewa di Kesultanan dan dengan dukungan sultan yang sedang berkuasa, ulama-ulama ini mempunyai banyak kesempatan untuk menulis berbagai buku. Karya-karya mereka banyak sekali jumlahnya, baik dalam bahasa Arab, Melayu maupun Persia. Karena itu, menurut al-Attas, ulama-ulama Melayu-Islam yang berkembang di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 telah berjasa dalam penyebaran agama dan teologi serta filsafat keseluruh bagian kepulauan Melayu. Di antara karya-karya mereka yang ditulis atas perintah sultan adalah: Mir’at al-Muhaqqiqin karya Syamsuddin al-Sumatrani,yang disusun atas perintah sultan Iskandar Muda. Asrar al-Insan Fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (rahasia manusia dalam mengetahui ruh dan Tuhan) dan Bustan al-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, yang ditulis atas perintah sultan Iskandar Tsani.
1 Komentar untuk "KESULTANAN ACEH DARUSSALAM (Awal Berdiri dan Perkembangannya)"
dalam artikel ini di bahas tentang bagaimana tiap raja yang memerintah Aceh melakukan pperlawanan kepada para penjajah yang masuk ke aceh. Semoga dapat meningkatkan nasionalisme kita setelah kita membaca artikel ini.